Denny Indrayana Curiga Salinan Putusan PN Jakpus yang Langsung Terbit

Biasanya, salinan putusan di PN Jakpus tidak langsung keluar usai dibacakan vonis.

ANTARA/Sigid Kurniawan
Kuasa hukum mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H. Maming selaku pihak pemohon praperadilan, Denny Indrayana mengikuti sidang putusan kliennya di PN Jakarta Selatan, Rabu (27/7/2022). Hakim tunggal Hendra Utama Sutardodo memutuskan untuk menolak permohonan praperadilan yang diajukan Mardani H. Maming terkait penetapannya sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi pemberian izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Rep: Ali Yusuf Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar hukum tata negara Denny Indrayana mengaku heran dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait penundaan pemilu. Putusan itu keluar sebagai imbas gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang tidak terima dinyatakan tak lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Sayangnya, vonis hakim PN Jakpus malah meminta KPU menghentikan proses tahapan Pemilu 2024. Yang membuat Denny semakin heran adalah salinan putusan terkait penundaan pemilu itu langsung terbit cepat. Sehingga, Denny dan masyarakat bisa mudah mengaksesnya, termasuk media massa.

Padahal, dalam persidangan, biasanya salinan putusan membutuhkan waktu untuk bisa diakses pihak beperkara. "Hebatnya lagi, dari biasanya butuh waktu cukup lama untuk mendapatkannya salinan putusan. Sekarang salinan putusan tersebut bisa langsung beredar," kata Denny kepada Republika.co.id di Jakarta, Jumat (3/3/2023).



Denny mengatakan, salinan putusan yang cepat beredar ke publik itu patut diapresiasi sekaligus dipertanyakan. Pasalnya, selama ini salinan putusan dari setiap pengadilan tidak bisa langsung keluar bersamaan dengan pembacaan putusan.

"Ini prestasi yang patut diapresiasi, sekaligus menimbulkan pertanyaan, kenapa bisa secepat itu, berbeda dari kebiasaannya," kata mantan wamenkumham tersebut penuh curiga.

Terkait hal itu, Denny mengakui, eksistensi hakim bahwa berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berisi bahwa mereka dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Sehingga hakim memang wajib untuk memeriksa dan mengadili perkara atau gugatan dari siapa pun.

Akan tetapi, menurut Denny, hal itu tidak bisa menjadi dalil hakim memutus perkara yang bukan kompetensi absolut atau yurisdiksi PN Pusat. Artinya hakim harus menyatakan perkara tersebut tidak dapat diterima.

"Mereka bisa tidak menerima karena tidak punya kompetensi. Jadi putusannya mengatakan gugatan tidak dapat diterima karena bukan kompentensinya," kata Denny.

Dia mengatakan, putusan itu menjadi ramai dan viral, karena di dalam butir ke-5 amar putusan, dinyatakan: "Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari".

Lebih jauh, butir ke-6 amar putusan memerintahkan: "Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bivoorraad)". Denny pun menuding, putusan PN Jakpus menunda pemilu cacat hukum.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler