Klaim No Park No Lard, Benarkah Sudah Pasti Halal?
Klaim itu harus dilihat berdasarkan titik kritis kehalalan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Saat mencari restoran, salah satu pertimbangan setiap musliam adalah adanya sertifikat halal restoran tersebut. Namun, bagaimana kalau restoran tidak memiliki sertikasi halal namun menuliskan klaim "No Park No Lard", apakah sudah pasti halal?
Dalam postingan di Instagram LPPOM MUI, bulan Maret 2022, disebutkan bahwa restoran all you can eat (AYCE) sedang menjadi tren di kalanga masyarakat Indonesia, termasuk muslim. Pasalnya, resto ini memberikan layanan yang khas. Dengan membayar harga tertentu, konsumen dapat mengonsumsi beragam menu yang disajkan dalam kurun waktu yang sudah ditetapkan.
Umumnya jenis restoran yang mengadopsi menu masakan dari Jepang ini menyajikan berbagai macam daging, seafood, beserta olahan.
Sayangnya, pilihan restoran AYCE bersertifikat halal MUI, khususnya di Indonesia, belum banyak. Meski begitu, banyak restoran yang mengklaim produknya dengan tagline “No Pork No Lard”. Namun, apakah klaim itu bermakna kehalalan restoran sudah terjamin?
Untuk menjawabnya, mari kita cek titik kritis kehalalan.
1. Seafood
Direktur Utama LPPOM MUI, Ir Muti Arintawati, MSi menjelaskan seafood (ikan, sudah, cumi-cumi, kerang, dan lain sebagainya) termasuk dalam daftar bahan non-kritis (positive list). Artinya sudah dapat dipastikan halal tanpa perlu melalui serangkaian proses pemeriksaan halal.
Hal ini akan berbeda jika hasil laut tersebut sudah mengalami proses pengolahan, seperti pembuatan bakso, crab stick, fish cake, dan seterusnya.
“Bahan halal yang mengalami proses pengolahan pasti sudah telah dicampurkan dengan bahan tambahan dan bahan penolong lainnya. Bahan inilah yang perlu ditelusuri kehalalannya. Namun, saat ini sudah banyak olahan seafood yang memiliki sertifikat halal MUI,” kata seperti dikutip dari akun Instagram @lppom_mui.
2. Daging
Daging sapi dan ayam harus dipastikan disembelih sesuai syariat Islam. Selain itu, proses penyimpanan dan distribusi daging harus terpisah dari bahan yang diharamkan.
“Masakan Jepang banyak menggunakan daging. Ini yang kritis. Umumnya di Indonesia menggunakan daging ayam dan sapi. Tapi kalau di negara asalnya, ada kemungkinan ketiga, yaitu daging babi. Kita harus tahu bagaimana cara penyembelihan daging ayam dan sapi sesuai syariah Islam atau tidak,” ujar Muti.
3. Bumbu
Mayoritas restoran AYCE mengadopsi menu masakan dari luar negeri, maka besar kemungkinan menggunakan resep, termasuk bumbu, dari negara asalnya. Seperti diketahui, cita rasa masakan Jepang identik dengan penggunaan sake dan mirin. Keduanya termasuk golongan khamr.
“Karena itu dalam memasak meskipun pemakaiannya hanya sedikit, satu tetes sekalipun, maka tetap saja tidak halal. Karena khamr itu haram dan najis,” ungkap Muti.