Di Balik Kompensasi Korsel ke Korban Kerja Paksa Jepang
Faktor utama rekonsiliasi Korsel dan Jepang adalah ancaman geopolitik dari Korut
REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Pemerintah Korea Selatan pada Senin (6/3/2023) mengatakan, perusahaan yang terlibat kerja paksa akan memberi kompensasi kepada orang-orang yang dipaksa bekerja di bawah pendudukan Jepang pada periode 1910-1945. Langkah ini merupakan upaya Korea Selatan untuk mengakhiri perselisihan dengan Jepang.
Proposal itu disambut di Tokyo, tetapi menghadapi reaksi langsung dari beberapa korban dan partai oposisi utama Korea Selatan, yang menuduh pemerintah menyerah kepada Jepang. Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mendesak Korea Selatan dan Jepang untuk berdamai. Biden menyambut baik upaya Korea Selatan untuk memberikan kompensasi kepada korban kerja paksa. Biden menyebut keputusan ini sebagai terobosan perdamaian.
Sumber pemerintah Jepang yang dekat dengan Perdana Menteri Fumio Kishida mengatakan kepada wartawan, Amerika Serikat telah menekan kedua negara untuk berdamai. Tetapi faktor utama yang memicu dorongan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol untuk rekonsiliasi adalah ancaman geopolitik dari Korea Utara.
Ketidaksepakatan tentang tenaga kerja dan wanita yang dipaksa masuk ke rumah pelacuran militer Jepang, telah mengganggu hubungan antara dua sekutu penting AS selama bertahun-tahu. Tetapi Presiden Yoon telah mendorong untuk memperbaiki hubungan tersebut.
Hubungan Korea Selatan dan Jepang jatuh ke titik terendah dalam beberapa dekade. Hubungan kedua negara semakin renggang setelah Mahkamah Agung Korea Selatan pada 2018 memerintahkan perusahaan-perusahaan Jepang untuk membayar ganti rugi kepada mantan pekerja paksa. Lima belas warga Korea Selatan telah memenangkan kasus itu, tetapi tidak ada yang mendapat kompensasi.
Jepang mengatakan masalah kompensasi diselesaikan berdasarkan perjanjian 1965. Seoul pertama kali mengajukan proposal ganti rugi pada Januari. Proposal ini memicu reaksi dari para korban dan keluarga mereka karena tidak memasukkan kontribusi dari perusahaan Jepang, termasuk yang diperintahkan oleh pengadilan Korea Selatan untuk membayar ganti rugi.
"Resolusi yang memalukan hari ini adalah hasil dari sikap (pemerintah Korea Selatan) yang secara konsisten rendah terhadap pemerintah Jepang," kata perwakilan dari beberapa korban kerja paksa.
Beberapa dari 15 penggugat mengatakan, mereka akan menolak rencana pemerintah dan menyiapkan panggung untuk pertarungan hukum lebih lanjut.
"Itu bukan permintaan maaf yang pantas. Seharusnya tidak pernah seperti ini ketika ada orang yang benar-benar melakukan kesalahan," kata Yang Geum-deok, salah satu korban, kepada wartawan.
Oposisi utama Partai Demokrat mengecam rencana itu sebagai "diplomasi tunduk". Juru bicara Partai Demokrat, An Ho-young, mengatakan, rencana kompensasi ini memalukan negara.
"Perusahaan Jepang yang terlibat dalam kejahatan perang menerima kesenangan bahkan tanpa bergerak, dan pemerintah Jepang berhasil menghilangkan masalah untuk mengulangi pernyataan masa lalu," ujar An.
Perusahaan Korea Selatan termasuk KT&G, Korea Electric Power Corp (KEPCO), dan perusahaan lain mendapat manfaat dari perjanjian tahun 1965 antara Korea Selatan dan Jepang. KT&G mengatakan, mereka sedang memantau diskusi tentang kompensasi bagi korban kerja paksa dengan hati-hati. Perusahaan juga berencana untuk bekerja sama dalam mengimplementasikan perjanjian tersebut. Sementara KEPCO akan meninjau masalah ini.
Kantor berita Korea Selatan Yonhap, yang mengutip sumber-sumber pemerintah mengatakan, sebagai bagian dari kesepakatan, Seoul dan Tokyo secara tentatif setuju untuk membuat "dana pemuda masa depan". Program ini bertujuan untuk mensponsori beasiswa dengan dana dari perusahaan di kedua negara.
Dua dari perusahaan yang diperintahkan oleh pengadilan Korea Selatan untuk melakukan restitusi, yaitu Mitsubishi Heavy Industries Ltd (7011.T) dan Nippon Steel Corp (5401.T), menolak mengomentari perjanjian tersebut. Perusahaan mengacu pada sikap lama mereka bahwa masalah kompensasi pekerja masa perang telah diselesaikan berdasarkan perjanjian 1965.
Perselisihan mengenai kompensasi itu meluas ke sengketa perdagangan pada 2019. Tokyo memperketat pembatasan ekspor bahan berteknologi tinggi ke Korea Selatan yang digunakan dalam chip ponsel cerdas. Seoul mengajukan protes ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai tanggapan atas pembatasan perdagangan Jepang.