Dirjen Bimas Islam Kemenag: Penetapan Awal Bulan Kamariah Demi Kemaslahatan Umat
Peran pemerintah sebagai ulil amri sangat diperlukan dalam menetapkan awal bulan
REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin mengatakan, penetapan awal bulan Kamariah merupakan persoalan fiqh ijtima'i, yakni ketentuan hukum Islam berdimensi sosial. Karenanya, peran pemerintah sebagai ulil amri sangat diperlukan dalam menetapkan awal bulan Kamariah, terutama bulan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah.
Demikian disampaikan Kamaruddin Amin saat membuka acara Sinkronisasi Hisab Taqwim Standar Indonesia yang digelar selama tiga hari, Selasa-Kamis (14-16/3/2023) di Hotel Mercure Kuta, Bali.
Ia pun mengingatkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Penentuan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, seluruh umat Islam harus menaati pemerintah terkait penetapan awal ketiga bulan Hijriah tersebut.
"Meski demikian, perbedaan penetapan awal bulan tersebut masih juga ditemukan di Indonesia," ujarnya, dalam siaran pers.
Kamaruddin menuturkan, perbedaan yang selama ini terjadi telah dihadapi dengan saling toleransi demi kebersamaan dan kemaslahatan, namun masih tetap dalam suasana ilmiah.
"Oleh karena itu kami mengingatkan bahwa penetapan awal Kamariah adalah sebuah kemaslahatan umat Islam. Kami mengingatkan sebuah kaidah fikih yang ditulis al-Suyuthi dalam kitab al-Asybah wa al-Nadzair, 'tindakan imam/pemerintah atas rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan'," katanya.
"Kaidah ini menunjukkan bahwa pemerintah dalam kebijakannya dan tindakannya harus berasaskan kemaslahatan, baik memberikan kebaikan, maupun menolak keburukan. Dan maslahat yang ditempuh tersebut harus dalam pertimbangan maslahat universal dan tidak mementingkan maslahat individu atau golongan," sambungnya.
Terakhir, Kamaruddin mengapresiasi para ahli hisab rukyat dari sejumlah daerah yang telah datang berkontribusi secara konkret mewujudkan kemaslahatan umat Islam dalam penyusunan kalender Hijriah Indonesia. Ia berharap, para ahli yang hadir dalam sinkronisasi itu dapat merumuskan kesepakatan terkait persoalan hisab rukyat di Indonesia, serta menjawab kebutuhan berbagai pihak terkait ilmu falak.
Kegiatan ini diikuti 50 peserta dari Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi Agama, para akademisi, Ormas Islam, serta sejumlah ahli hisab rukyat dan astronomi.