CIPS: Pemerintah Wajib Evaluasi Program Pupuk Bersubsidi
Program pupuk bersubsidi belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pemerintah perlu mengevaluasi efektivitas program pupuk bersubsidi lantaran belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan pokok, seperti beras. Subsidi pupuk tercatat sedikitnya menyerap anggaran subsidi nonenergi terbesar dengan rerata tahunan mencapai Rp 31,53 triliun di periode 2010-2020.
Peneliti CIPS, Mukhamad Faisol Amir, mengatakan, diperlukan reformasi kebijakan pupuk nasional secara menyeluruh, termasuk dalam mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap.
“Tidak efektifnya kebijakan ini terlihat dari tidak adanya korelasi antara peningkatan alokasi anggaran program dengan capaian produktivitas tanaman,” kata Faisol dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/3/2023).
Penelitian CIPS menunjukkan tren produktivitas padi dan kedelai cenderung stagnan periode 2014-2019. Lalu pada tahun 2020, sasaran produksi padi mencapai 59,15 juta ton gabah kering giling (GKG) sementara realisasi produksi hanya 54,65 juta ton GKG.
Selain itu, mekanisme subsidi pupuk saat ini yang diberikan kepada perusahaan produsen pupuk tidak efektif, karena komponen pembiayaan subsidi tidak hanya dari produksi, tapi biaya-biaya lain yang juga dibebankan pada anggaran subsidi pupuk.
Idealnya, subsidi pupuk diberikan sebagai cash assistant langsung ke petani melalui Kartu Tani, sehingga petani dapat memiliki lebih banyak pilihan bibit dan pupuk yang digunakan.
Berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK) pupuk bersubsidi tahun 2020, usulan kebutuhan terbesar datang dari petani subsektor tanaman pangan padi dan palawija.
Jika dikaitkan dengan sasaran produksi yang ingin dicapai melalui pupuk bersubsidi, berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 2020-2024, sasaran produksi padi untuk 2021 mencapai 62,50 juta ton gabah kering giling (GKG). Namun, data BPS menunjukkan produksi hanya 54,42 juta ton GKG sedangkan 2022 sebesar 54,75 juta ton GKG.
"Kebijakan input pertanian dari pemerintah, termasuk pupuk bersubsidi, tampak hanya difokuskan pada perbaikan mekanisme penebusan melalui Kartu Tani, dengan target penerapan secara nasional pada tahun 2024. Padahal, perlu dilakukan reformasi bantuan untuk mencegah perverse incentive, mendorong kompetisi, dan pada akhirnya mendukung kemandirian usaha tani," ujar dia.
Meski demikian, adopsi Kartu Tani oleh petani masih jauh dari target. Pada 2020, jumlah Kartu Tani tercetak mencapai 9,30 juta kartu (66,91 persen dari total 13,90 juta petani calon penerima di e-RDKK), Kartu Tani yang sudah didistribusikan mencapai 6,20 juta kartu (44,60 persen calon penerima). Sedangkan yang sudah digunakan petani baru mencapai 1,20 juta kartu (8,63 persen), berdasarkan penelitian CIPS.
“Kebijakan input pertanian, terutama pupuk, perlu menargetkan reformasi secara fundamental. Perlu diingat bahwa pupuk bersubsidi adalah instrumen untuk mendorong investasi petani pada sarana pertanian untuk meningkatkan produktivitas,” tutur Faisol.
Untuk jangka panjang, pemerintah perlu merancang mekanisme evaluasi pemberian subsidi, menetapkan indikator “kelulusan” seorang petani atau suatu wilayah penerima subsidi, serta menargetkan deadline pencabutan subsidi.
Namun, kata dia, mekanisme evaluasi ini harus didukung data pertanian yang akurat yang selalu diperbarui untuk memonitor pendapatan dan harga-harga di tingkat petani.
"Tidak kalah penting, kebijakan di sisi suplai turut diperlukan untuk meningkatkan kompetisi antar produsen pupuk dan memastikan harga pupuk yang terjangkau berdasarkan mekanisme pasar," ujarnya.
Terkait kelangkaan, konflik Rusia-Ukraina turut mempengaruhi. Sebagai penghasil gas alam dan potash, Rusia juga merupakan produsen pupuk yang cukup besar. Konflik antara keduanya, terutama setelah sanksi yang diberikan oleh Amerika Serikat ke Rusia, akan mengakibatkan terganggunya suplai bahan makanan dan energi.
Sebelum perang pecah antara kedua negara, ketahanan pangan global pun sudah dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti pandemi Covid-19 dan perubahan iklim, yang menyebabkan penurunan jumlah produksi dan ketidakpastian musim tanam.