Bos KSP Indosurya, Henry Surya Kembali Ditetapkan Tersangka dan Ditahan Mabes Polri
“Ini (pemalsuan dan TPPU) berbeda dengan kasus yang terdahulu," kata Whisnu.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mabes Polri menjebloskan bos Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya, Henry Surya ke sel tahanan. Penahanan sementara itu dilakukan setelah Henry Surya ditetapkan kembali sebagai tersangka oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim.
Pada penyidikan baru kasusnya kali ini, Henry Surya dijerat dengan sangkaan Pasal 263 dan Pasal 266 KUH Pidana, serta Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Direktur Tipideksus Brigadir Jenderal (Brigjen) Whisnu Hermawan menerangkan, Henry Surya resmi ditetapkan tersangka, pada Senin (13/3/2023).
Pada Selasa (14/3/2023), tim penyidikannya melakukan penangkapan kembai terhadap Henry Surya di Apartemen Raflesia, di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan (Jaksel). “Setelah dilakukan penangkapan, tersangka HS (Henry Surya) kita lakukan penahanan,” begitu kata Whisnu dalam konfrensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Henry Surya adalah pendiri KSP Indosurya. Saat ini, status hukum Henry Surya sebetulnya masih sebagai terdakwa terkait kasus penggelepan dan penipuan dana nasabah koperasi diriannya.
Dalam kasus penggelepan dan penipuan itu, didakwa dengan Pasal 46 ayat (1) UU 10/1998 atas perubahan UU 7/1992 tentang Perbankan juga Pasal 378, dan Pasal 372 KUH Pidana. Kepolisian, dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus penggelapan dan penipuan tersebut menuding Henry Surya, melakukan penggelapan dan penipuan 23 ribu nasabah KSP Indonesia.
Kerugian nasabah dalam kasus tersebut mencapai Rp 106 triliun. Perkara Indosurya ini sempat diklaim sebagai kasus keuangan dengan kerugian terbesar di Indonesia.
Akan tetapi, di persidangan, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar), Januari 2023 lalu memutuskan untuk melepaskan Henry Surya sebagai terdakwa. Hakim dalam putusannya menyatakan, perbuatan Henry Surya bukan merupakan pidana, melainkan perdata. Sehingga hakim melepaskan Henry Surya dari dakwaan, dan tuntutan 20 tahun penjara.
Akan tetapi, status Henry Surya sebagai terdakwa dalam perkara itu masih melekat. Itu karena Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejakgung) menguapayakan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Memori kasasi tersebut sudah diajukan sejak Februari 2023. Proses upaya hukum tersebut, membuat status hukum terhadap Henry Surya belum inkrah, atau berkekuatan hukum tetap. Tapi Mabes Polri diminta kembali untuk melakukan penyelidikan, dan penyidikan baru terkait Henry Surya, dan KSP Indosurya.
Direktur Tipideksus Brigjen Whisnu mengatakan, dalam perkara baru yang menjerat Henry Surya sebagai tersangka lagi kali ini, berbeda dengan kasus KSP Indosurya yang pertama. Penetapan Henry Surya sebagai tersangka lagi saat ini, kata Whisnu, terkait dengan pemalsuan dokumen, dan TPPU.
Karena itu penjeratan sangkaan dalam perkara baru ini, menggunakan Pasal 263, dan Pasal 266 KUH Pidana. “Ini (pemalsuan dan TPPU) berbeda dengan kasus yang terdahulu (penggelapan dan penipuan),” terang Whisnu.
Whisnu menerangkan, duduk perkara kasus baru yang bakal menyeret Henry Surya kembali ke persidangan, menyangkut masalah otentifikasi dalam persyaratan pembuatan lembaga koperasi. Whisnu mengatakan, dari hasil penyidikan, dan gelar perkara didapatkan bukti, tentang pendirian KSP Indosurya pada 2012 lalu, didasari atas pemalsuan dokumen-dokumen pendirian. Pun ditengarai cacat formal sehingga dinilai tak legal.
“Kami sudah temukan bahwa perbuatan HS ini dalam pembuatan KSP (Koperasi Simpan Pinjam) itu cacat. Dan bahkan saudara HS ini berniat jahat dalam pendirian KSP Indosurya ini,” terang Whisnu.
Karena dinilai melakukan pemalsuan dokumen pendirian dan dinilai cacat sebagai koperasi, menurut Whisnu, dalam operasionalnya, KSP Indosurya menjadi lembaga koperasi yang melanggar hukum. Sehingga dikatakan dia, kegiatan usaha apapun yang dilakukan oleh Henry Surya dengan KSP Indosurya-nya, menjadi ilegal.
“Jadi dalam perkara ini penyidikan yang dilakukan adalah terkait akar masalahnya. Yaitu bahwa HS melakukan perbuatan seolah-olah mendirikan koperasi, yaitu koperasi Indosurya,” kata Whisnu.
Dalam menjalankan koperasi ilegal tersebut, kata Whisnu, Henry Surya mengumpulkan dana nasabah dalam jumlah fantastis mencapai Rp 106 triliun. Dalam penyidikan, kata Whisnu, KSP Indosurya pun pada 2018 mengeluarkan produk perbankan, berupa penjualan investasi dalam bentuk medium term note (MTN), atau surat utang jangka menengah.
Dalam penjualan produk MTN tersebut, Henry Surya, berhasil menangguk uang nasabah sekitar Rp 15,9 triliun. Akan tetapi, dalam praktiknya, kata Whisnu, penjualan MTN oleh KSP Indosurya tersebut, sempat dilarang oleh regulator karena koperasi tersebut sebetulnya cacat formal.
Karena itu, Whisnu mengatakan, meskipun pada kasus yang pertama Henry Surya sebagai terdakwa penipuan dan penggelapan dihukum lepas oleh pengadilan lantaran perbuatan Henry Surya tersebut dinilai sebagai keperdataan, pada penyidikan baru kali ini, kepolisian seperti menemukan bukti-bukti baru terkait dengan tindak pidana yang dilakukan Henry Surya dalam pendirian koperasi, serta tindak pidana lainnya terkait dengan kejahatan melakukan pengumpulan dana masyarakat dengan menggunakan lembaga koperasi yang pendiriannya cacat hukum.
Brigjen Whisnu juga menambahkan, terkait dengan TPPU, tim penyidikannya juga menemukan 23 perusahaan cangkang milik Henry Surya. Puluhan perusahaan cangkang itu, diduga menjadi tempat bagi Henry Surya dalam menyamarkan praktik manipulasinya selama menjalankan koperasi ilegal.
"Jadi koperasi yang didirikan oleh HS ini hanyalah koperasi pura-pura," ujar Whisnu.
Pengacara Henry Surya, Soesilo Ari Wibowo, kepada Republika, Rabu (15/3/2023) sudah mengetahui status hukum baru kliennya di Dirtipideksus Bareskrim Polri saat ini. Namun, kata dia, enetapan tersangka terhadap Henry Surya hanya akan menghasilkan keputusan hukum yang sama di pengadilan negeri nantinya.
"Saya berpendapat kasus ini, akan nebis in idem di pengadilan," ujar Soesilo.
Nebis in idem adalah istilah dalam hukum yang artinya tak bisa memeriksa, ataupun memidanakan seseorang, atas kasus, atau pokok perkara serupa yang sudah berkekuatan hukum tetap di pengadilan. Meskipun begitu Soesilo mengaku menghormati apa pun setiap proses hukum terkait nasib kliennya itu.
“Kita tetap menghormati proses hukum yang ada. Tetapi nanti kita akan lihat saja di pengadilan,” ujar Soesilo.