Terancam Pemecatan, 90 Ribu Honorer Satpol PP Minta Diangkat PNS

Honorer Satpol PP mengaku dijanjikan kejelasan nasib pada 21 Maret 2023.

Republika/Putra M. Akbar
Anggota Komisi VII DPR Adian Napitupulu (tengah) bersama Ketua DPP Forum Komunikasi Bantuan Polisi Pamong Praja Nusantara Fadlun Abdillah (kanan) usai memberikan keterangan pers terkait pemberhentian massal 90.000 anggota Satpol PP se-Indonesia di Graha Pena 98, Jakarta, Kamis (16/3/2023). Kehadiran perwakilan dari Forum Komunikasi Bantuan Polisi Pamong Praja ini meminta dukungan kepada PENA 98 dalam menyikapi persoalan yang menimpa 90.000 anggota Satpol PP yang status honorernya dihentikan sekaligus agar dapat diperjuangkan nasibnya yang dinilai menjadi korban kebijakan negara.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 90 ribu anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terancam kehilangan pekerjaan seiring batas waktu penghapusan honorer pada 28 November 2023. Mereka meminta pemerintah mengangkat honorer Satpol PP menjadi pegawai negeri sipil.

Ketua Umum DPP Forum Komunikasi Bantuan Polisi Pamong Praja Nusantara (FKBPPPN), Fadlun Abdilah, mengaku, secara keseluruhan, perbandingan personel Satpol PP berstatus PNS dengan non PNS berada di angka 30 banding 70. Dimana, mayoritas dari personel Satpol PP yang ada saat ini bukan merupakan PNS sebagaimana semestinya yang diamanatkan UU.

Baca Juga



"Kita (non PNS) paling besar. Kita 70 persen dibanding PNS-nya, untuk Satpol PP ya. Di daerah itu banyak PNS-nya itu 20 persen, non PNS-nya 80 persen," kata Fadlun, di Jakarta, Kamis (16/3/2023).

Pria yang bertugas sebagai Satpol PP di Kabupaten Bekasi itu menegaskan, pihaknya tidak akan berhenti mendorong agar Satpol PP menjadi PNS. Apalagi, tugas dan fungsi Satpol PP secara keseluruhan sama, hanya status kepegawaian yang membedakan, ada yang PNS dan ada yang non PNS. Bahkan, kata dia, anggota yang non PNS yang lebih sering berada di garda terdepan.

"Sama-sama menjalankan tugas dan fungsi antara lain menegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, menyelenggarakan ketertiban umum, dan ketenteraman masyarakat serta kepegawaiannya dalam hal tersebut," kata Fadlun.

Menurut Fadlun, dia sudah dijanjikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) terkait kabar pasti nasib Satpol PP non PNS ke depan. Apabila janji itu tak ditepati dan kejelasan nasib mereka terus tak menentu, maka 90 ribu Satpol PP akan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia dan melakukan mogok kerja.

"Ketika pemerintah selaku Mendagri dan Menpan-RB tidak mau memperjuangkan kami, kami 90 ribu akan melaksanakan aksi besar-besaran," kata Fadlun.

Dia mengatakan, sebelumnya para Satpol PP non PNS sudah melakukan aksi damai, tapi ketika itu yang turun ke lapangan jumlah massanya belum maksimal. Fadlun mengeklaim, dia dijanjikan akan diberikan kejelasan nasib pada 21 Maret 2023, setelah pihak pemerintah bertemu dengan DPR membahas persoalan tenaga honorer.

"Ketika pada tahun ini ataupun hasil dari pada 21 besok pemerintah tidak ada titik terang atau pun pemerintah tidak menjalankan amanat UU Nomor 23, saya akan menginstruksikan kepada jajaran ketua DPD ataupun DPD atau DO yang ada di seluruh Indonesia untuk mengosongkan kantor dan kita akan aksi damai di kementerian," tegas dia.

Langkah tersebut didukung oleh Persatuan Nasional Aktivis (Pena) 98. "Kita sebagai Pena 98 pasti akan berjuang sebisanya dan semampunya. Saya sudah komunikasikan dengan komisi II, kalau secara komisi memang bukan bidang saya, tetapi bicara kemanusiaan, kita harus keluar dari sekat itu," ujar Sekretaris Jenderal Pena 98, Adian Napitupulu.

Adian menyampaikan, puluhan ribu Satpol PP dengan status non PNS itu hanya menuntut pemerintah untuk melaksanakan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Dimana, menurut dia, aturan tersebut mengamanatkan negara untuk mengangkat para Satpol PP menjadi PNS karena memang dalam aturan tersebut status Satpol PP adalah PNS, bukan honorer maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

"Mereka tidak menuntut rumah dinas, mereka tidak menuntut mobil baru untuk operasional, mereka tidak menuntut sesuatu yang menurut saya dilakukan pejabat lain, nambah rumah dinaslah, mobil barulah, mereka tidak menuntut (itu). Yang mereka tuntut adalah UU Nomor 23 Tahun 2014 dilaksanakan. Pasal 256," kata Adian.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler