Kebingungan Mahfud MD, Bila Rp 300 Triliun Bukan Korupsi dan Cuci Uang, Lalu Apa?
Kemenkeu tegaskan Rp 300 triliun bukan korupsi dan cuci uang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD masih bertanya-tanya terkait 'transaksi janggal' Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan. Menurut Mahfud, bila Rp 300 triliun itu bukan uang korupsi dan pencucian uang, lalu masuk ke kategori apa duit bermasalah tersebut.
"1) Ada transaksi mencurigakan 300T; 2) tp itu bkn korupsi; 3) dan itu jg bkn pencucian uang. Lah, uang apa?," kicau Mahfud MD di laman Twitter-nya, Jumat (17/3/2022).
Mahfud mengaku minta maaf. Saat ini ia sedang berada di Australia. Menurutnya tak etis berkomentar dan berpolemik dari luar negeri atas apa yang terjadi di dalam negeri "Lah, uang apa? Ya nanti kita runut kalau saya sdh di Indonesia. Data saya kuantitatif, bkn semata kualitatif. Dan itu sdh disampaikan ke Kemkeu. Saat jumpa pers saya lihat bhw Kepala PPATK cukup jelas: laporan yg hrs diselidiki. Nantilah, pokoknya jujur saja kalau mau mempetbaiki," katanya.
Pada Kamis (16/3/2022), Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Awan Nurmawan Nuh kembali menegaskan, transaksi mencurigakan sebesar Rp 300 triliun di lingkungan Kemenkeu yang diungkap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD, bukanlah korupsi maupun Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Transaksi itu merupakan hasil temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Jadi prinsipnya angka Rp 300 triliun itu bukan angka korupsi ataupun TPPU pegawai di Kementerian Keuangan,” ujar Awan seperti dikutip dari website Kemenkeu pada Kamis (16/3/2023).
Ia menegaskan, Kemenkeu berkomitmen melakukan pembersihan secara menyeluruh di lingkungan lembaganya. Terkait persoalan yang melibatkan pegawai, kata dia, Itjen Kemenkeu terus menindaklanjuti secara baik. "Kita panggil dan sebagainya. Intinya kerja sama antara Kementerian Keuangan dan PPATK sudah begitu cair,” tutur dia.
Pada kesempatan lain, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, TPPU merupakan tindak pidana yang bisa didalami dan ditindaklanjuti jika terdapat tindak pidana asal atau predicate crime. Ia menjelaskan, Undang-Undang (UU) terkait TPPU memuat banyak daftar tindak pidana asal.
“Ada dua yang terkait sama Kementerian Keuangan, tindak pidana pajak dan tindak pidana kepabeanan dan cukai,” jelasnya.
Wamenkeu mengatakan, Kementerian Keuangan meneliti dan mendalami tindak pidana pajak dan kepabeanan dan cukai. Ketika tindak pidana tersebut dikembangkan menjadi tindak pidana pencucian uang, basisnya adalah laporan intelijen dari PPATK berupa laporan transaksi dan analisis terkait tindak pidana pajak atau kepabeanan dan cukai.
“Ini yang dilakukan oleh wajib pajak yang kita teliti ke siapa saja, ke pihak-pihak mana saja, baik orang maupun badan. Dilihat seluruhnya, kalau istilahnya itu spider web. Jadi dilihat itu keterkaitan, jejaringnya ke mana saja, dan kemudian yang dipahami sebagai berapa uang yang beredar itu,” kata dia.
Terkait pemberitaan mengenai transaksi Rp 300 triliun yang beredar di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai, Suahasil menegaskan, bukan masalah jumlahnya. Melainkan masalah penelisikkan satu per satu keterkaitan antara pidana pajak dan kepabeanan dan cukai dengan siapa saja yang menerima uang.
“Itu sebenarnya memang betul bisa ratusan triliun. Hanya saja cara kita melakukan ini kan benar-benar harus didalami. Sejak 2010, Ditjen Pajak telah melakukan 17 kasus tindak pidana pencucian uang, terbukti sudah masuk ke pengadilan dan sudah ada vonisnya,” ujar Suahasil.
Sejak adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Wamenkeu mengatakan dalam proses pembuktian apabila ditengarai melakukan pencucian uang, maka pihak-pihak terkait harus membuktikan harta dan aset tersebut bukan dari hasil pencucian uang. Kalau yang bersangkutan tidak bisa membuktikan, maka aset itu bisa diambil.
"Ini sudah Rp 7 triliun yang bisa diambil karena tidak dapat dibuktikan ini bukan bagian dari pencucian uang oleh pihak-pihak terkait itu. Ini pun sudah dilaporkan juga oleh PPATK, dilaporkan juga oleh Ditjen Pajak karena memang kita kerja sama dengan sangat erat,” tegasnya.
Pada Selasa (14/3/2023) lalu, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mendatangi Kantor Kemenkeu guna menjelaskan soao transaksi Rp 300 triliun. Ia menjelaskan hal tersebut ke awak media usai bertemu dengan Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara dan Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan di Kantor Pusat Kemenkeu, Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Ivan pun mengklarifikasi, transaksi senilai Rp 300 triliun itu bukan soal adanya penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh oknum Kemenkeu. "Tapi, lebih kepada kasus-kasus yang kami sampaikan ke Kemenkeu dalam posisi Kemenkeu sebagai Penyidik Tindak Pidana Asal dari kasus-kasus kepabeanan, cukai, dan perpajakan. Disitulah kami serahkan hasil analisis dan pemeriksaan kepada Kemenkeu untuk ditindaklanjuti," kata Ivan.
Ia menjelaskan, analisis terhadap kasus-kasus tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Lebih lanjut, Ivan menyampaikan, PPATK dan Kemenkeu terus berkoordinasi agar kasus-kasus tersebut dapat ditangani dengan baik bersama aparat penegak hukum. Pasalnya, akumulasi dari sejumlah kasus kepabenanan, cukai, dan perpajakan itu mencapai Rp 300 triliun.
Kendati demikian, Ivan tak menampik terdapat pegawai Kemenkeu yang juga terlibat dalam kasus-kasus tersebut. Namun, menurut dia, jumlahnya sangat kecil jauh di bawah Rp 300 triliun. "Memang ada satuan-satuan kasus yang kami koordinasikan, kami peroleh dari Kemenkeu terkait dengan pegawai. Tapi nilainya tidak sebesar itu (Rp 300 triliun) nilainya sangat minim dan itu ditangani Kemenkeu secara baik dan kami lakukan koordinasi terus menerus," ungkap Ivan.