20 Tahun Invasi Irak, AS Masih Harus Tanggung Konsekuensi
Konsekuensi itu mulai dari pengaruh AS yang terkikis hingga biaya untuk perangi ISIS
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) masih menghadapi konsekuensi saat mereka menginvasi Irak 20 tahun lalu. Konsekuensi yang dihadapi AS, antara lain, mulai dari Iran yang diberdayakan dan pengaruh AS yang terkikis hingga biaya menjaga pasukan AS di Irak dan Suriah untuk memerangi ISIS.
Pada 2003, Presiden AS George W Bush membuat keputusan untuk menggulingkan Saddam Hussein secara paksa dan menginvasi Irak. Jumlah pasukan AS yang terbatas menyebabkan munculnya perselisihan etnis. Penarikan pasukan AS pada 2011 semakin memperumit kebijakan Washington di Timur Tengah.
Berakhirnya pemerintahan Saddam Hussein yang merupakan Suni minoritas dan berganti dengan pemerintah mayoritas Syiah di Irak membebaskan Iran untuk memperdalam pengaruhnya di Levant, terutama di Suriah, ketika pasukan Iran dan milisi Syiah membantu Bashar al-Assad menghancurkan pemberontakan Suni dan tetap berkuasa.
Penarikan pasukan AS dari Irak pada 2011 meninggalkan kekosongan yang diisi militan ISIS, yang merebut sekitar sepertiga wilayah Irak dan Suriah. Kehadiran ISIS menimbulkan ketakutan di antara negara-negara Teluk Arab dan mereka tidak dapat mengandalkan Amerika Serikat.
Setelah pasukan AS ditarik pada 2011, Presiden AS Barack Obama mengirim kembali pasukannya ke Irak pada 2014. Kemudian pada 2015, Obama mengerahkan pasukan ke Suriah dengan sekitar 900 tentara berada di lapangan. Pasukan AS di kedua negara itu memerangi militan ISIS yang juga aktif dari Afrika Utara hingga Afghanistan.
"Ketidakmampuan, keengganan kami, untuk meletakkan palu dalam hal keamanan di negara itu memungkinkan terjadinya kekacauan, yang memunculkan ISIS," kata mantan wakil menteri luar negeri Richard Armitage, yang menyalahkan kegagalan AS untuk mengamankan Irak.
Armitage bertugas di bawah Bush yang berasal dari Partai Republik ketika AS menginvasi Irak. Armitage mengatakan, invasi AS merupakan kesalahan strategis yang sama besarnya dengan invasi Hitler ke Uni Soviet pada 1941, yang membantu kekalahan Jerman dalam Perang Dunia Kedua. Menurut Armitage, biaya keterlibatan AS di Irak dan Suriah sangat besar.
Menurut perkiraan yang diterbitkan oleh proyek "Costs of War" di Universitas Brown, biaya yang dikeluarkan AS hingga saat ini untuk perang di Irak dan Suriah mencapai 1,79 triliun dolar AS. Biaya itu termasuk pengeluaran Pentagon dan Departemen Luar Negeri, perawatan veteran, dan bunga atas utang pembiayaan konflik. Perawatan veteran diproyeksikan berlangsung hingga 2050 dam meningkat menjadi 2,89 triliun dolar AS.
Proyek "Costs of War" memperkirakan kematian militer AS di Irak dan Suriah selama 20 tahun terakhir mencapai 4.599. Proyek ini juga memperkirakan total kematian, termasuk warga sipil Irak dan Suriah, militer, polisi, pejuang oposisi, media, dan lainnya sebesar 550 ribu hingga 584 ribu. Kematian ini mencakup mereka yang terbunuh sebagai akibat langsung dari perang, tetapi tidak termasuk kematian tidak langsung yang diperkirakan karena penyakit, pemindahan, atau kelaparan.
Kredibilitas AS juga anjlok karena keputusan Bush menginvasi Irak berdasarkan intelijen palsu yang dibesar-besarkan. Ketika itu, Bush menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal (WMD). Namun, tuduhan Bush itu tidak terbukti.
Seorang advokat perang yang bertugas di bawah Bush, John Bolton, mengatakan, kendati Washington melakukan kesalahan, dia yakin menggulingkan Saddam Hussein adalah langkah tepat. "Itu sangat berharga karena keputusannya tidak hanya 'Apakah Saddam menimbulkan ancaman WMD pada tahun 2003?. Pertanyaan lainnya adalah 'Apakah dia akan menimbulkan ancaman WMD lima tahun kemudian?' Yang saya pikir jawabannya jelas adalah 'ya'," ujarnya.
Bolton mengatakan, kesalahan terburuk yang dilakukan AS setelah penggulingan Saddam adalah menarik diri pada 2011. Bolton mengatakan, dia percaya Obama ingin menarik diri dan menggunakan ketidakmampuan untuk mendapatkan jaminan kekebalan bagi pasukan AS dari parlemen Irak sebagai alasan.
Ryan Crocker, yang menjabat sebagai duta besar AS di Irak, mengatakan, invasi pada 2003 tidak merusak pengaruh AS di Teluk. Tetapi penarikan pasukan AS pada 2011 mendorong negara-negara Arab untuk mulai melindungi taruhan mereka.
Contoh terbaru dari pengaruh AS yang memudar, yaitu pemulihan hubungan diplomatik Iran dan Arab Saudi pekan lalu. Kedua negara sepakat untuk membangun kembali hubungan setelah bertahun-tahun permusuhan. Kesepakatan ini ditengahi oleh Cina.
"Kami baru saja memutuskan bahwa kami tidak ingin melakukan hal ini lagi," kata Crocker, merujuk pada keengganan AS untuk terus menumpahkan darah dan harta untuk mengamankan Irak.
"Itu dimulai dengan Presiden Obama yang menyatakan bahwa dia akan menarik semua kekuatan. Ini adalah keputusan AS yang tidak dipaksakan oleh ekonomi yang runtuh, tidak dipaksakan oleh demonstran di jalan. Pimpinan kami baru saja memutuskan bahwa kami tidak ingin melakukannya lagi. Dan itu mulai membunyikan lonceng peringatan di Teluk," ujar Crocker.
Mantan wakil menteri luar negeri Jim Steinberg, yang bertugas di bawah pemerintahan Obama, mengatakan, perang menimbulkan pertanyaan mendalam tentang kesediaan Washington untuk bertindak secara sepihak dan keteguhannya sebagai mitra. "Hasilnya buruk bagi pengaruh AS, buruk bagi pengaruh AS, buruk bagi kemampuan kami untuk bermitra dengan negara-negara di kawasan ini," katanya.
Perdebatan masih berkecamuk di antara mantan pejabat atas keputusan Obama untuk menarik diri dari Irak, dan mengikuti garis waktu yang ditetapkan oleh pemerintahan Bush. Langkah ini mencerminkan ketidakmampuan AS untuk mengamankan kekebalan bagi pasukan AS yang didukung oleh parlemen Irak.
Keyakinan Bolton bahwa menyingkirkan Saddam sepadan dengan biaya akhirnya tidak dipegang oleh banyak pejabat saat ini dan sebelumnya. Ketika ditanya kata pertama yang terlintas dalam pikiran tentang invasi AS ke Irak, Armitage menjawab "FUBAR", yaitu singkatan militer berarti "Fouled up beyond all recognition."