Setelah 20 Tahun Saddam Hussein Jatuh, Hidup Rakyat Irak Makin Nelangsa

Kejatuhan Saddam Hussein adalah awal dari era konflik dan kekacauan lain di Irak.

AP/Ali Abdul Hassan
Warga Irak melakukan demontsrasi di Baghdad, Irak, Rabu, Juli. 27 Oktober 2022. ilustrasi
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Ketika pasukan pimpinan Amerika Serikat (AS) menggulingkan Saddam Hussein pada 2003, Adel Amer merayakan kemenangan. Menurut Amer jatuhnya Saddam Hussein menandai akhir dari dua dekade perang dan isolasi di bawah sanksi yang telah membuat Irak dan rakyatnya bertekuk lutut.

Baca Juga


"Saya menari seperti orang gila dan tidak percaya Saddam telah pergi. Saya merasa seperti burung yang dilepaskan dari sangkar," kata Amer.

Tapi ternyata, kejatuhan Saddam Hussein adalah awal dari era konflik dan kekacauan lain seperti pemberontakan, kebangkitan kekerasan Islamis dan perselisihan sektarian. Konflik ini memperdalam penderitaan Amer (63 tahun) dan keluarganya.

Masalah Amer dimulai jauh sebelum invasi pimpinan AS diluncurkan pada 20 Maret 2003. Amer telah meninggalkan militer selama perang Saddam dengan Iran pada 1980-an.

"Saya muak menghadapi kematian sepanjang waktu dan melihat teman-teman saya terbunuh atau cacat oleh tembakan keras Iran sepanjang waktu," kata Amer.

Amer menahan air mata ketika dia berbicara kepada Reuters dan mengeluarkan foto lama bersama rekan-rekannya di militer ketika dia berusia 20 tahun di dalam parit selama konflik. Ketika itu, konflik telah merenggut satu juta nyawa.

"Saya berkata pada diri sendiri bahwa inilah saatnya untuk melarikan diri dari tentara. Saya sadar saya akan dieksekusi jika saya tertangkap tetapi bertahan hidup itu berharga dan saya melakukannya. Inilah mengapa saya hidup hari ini," kata Amer yang  tampak lemah dan lelah setelah penderitaan seumur hidup.

Amer meninggalkan rumah keluarganya di daerah pedesaan dekat bandara Bagdad untuk tinggal di sebuah kebun buah milik saudara iparnya.  Dia menumbuhkan janggut panjang dan bekerja sebagai petani untuk menghindari deteksi pasukan keamanan Saddam.

Dia mengambil risiko lain pada 1990-1991, ketika pasukan Saddam menginvasi tetangganya, Kuwait. Ini adalah sebuah langkah yang mengubah Irak menjadi paria.

Koalisi pimpinan AS menghantam pasukan Irak, dan PBB memberlakukan sanksi terhadap Irak selama lebih dari satu dekade. Amer menghindari dinas militer dalam pendudukan Irak selama tujuh bulan di Kuwait, bahkan setelah Saddam mengeluarkan keputusan bahwa bagian telinga para pembelot akan dipotong atau tanda X akan dicap di dahi mereka.

Amer dibenci oleh mantan rekannya di militer dan sebagian besar penduduk di lingkungannya. Kendati demikian, tidak ada yang menyerahkan Amer kepada pihak berwenang karena mereka tahu dia akan dieksekusi.

"Saya sangat menderita dan kadang-kadang saya berpikir untuk mengakhiri hidup saya, tetapi saya mengatakan pada diri sendiri bahwa selalu ada harapan meskipun sedikit," ujar Amer.

Ketika kediktatoran panjang Saddam berakhir pada 2003, Amer mengadakan pesta mewah di rumahnya. Amer berpikir, dia tidak akan pernah harus mengajukan diri lagi sekarang karena pasukan AS telah menguasai negara.

Saat itu, Presiden AS George W. Bush dan para jenderalnya berjanji untuk mewujudkan demokrasi yang berkembang dan ekonomi yang makmur. Janji manis ini sangat kontras dengan pemerintahan Saddam ketika orang-orang yang tidak bersalah disiksa dan dibunuh serta miliaran petrodolar dihamburkan.

Namun setelah invasi pasukan AS, justru lebih banyak kekerasan terjadi.  Kelompok Alqaeda memulai pemberontakan yang menghancurkan, pemboman, dan memenggal kepala orang.  Irak kemudian dilanda perang saudara sektarian pada 2006-2008, sebagian besar terjasi antara Sunni dan Syiah. Banyak jenazah terlihat mengambang di sungai.

Amer dan jutaan orang lainnya kembali hidup dalam ketakutan ketika kelompok militan Sunni dan milisi Syiah, meneror warga Irak dan melawan pasukan AS. Pada Oktober 2004, pemberontak Sunni yang berafiliasi dengan Alqaeda menculik ayah, saudara laki-laki dan sepupu Amer dari ladang keluarga saat mereka sedang bekerja.

Pemberontak membawa anggota keluarga Amer ke tempat yang tidak diketahui. Keluarga Amer ditangkap karena mereka adalah Syiah. "Saya kaget dan hancur karena takut hal terburuk akan terjadi pada ayah, saudara laki-laki dan sepupu saya. Saya tidak siap untuk hidup dalam ketakutan lagi," kata Amer.

Amer menghabiskan sekitar satu tahun untuk mencoba menentukan apakah kerabatnya masih hidup atau sudah mati. Amer sering mengunjungi kamar mayat di Bagdad. Dia banyak menemukan jenazah tak dikenal yang terbunuh dalam kekerasan komunal.

"Sekitar setahun setelah penculikan ayah, saudara laki-laki dan sepupu saya, polisi datang ke rumah saya dan meminta untuk pergi ke kamar mayat pusat di Baghdad. Polisi menemukan tiga jenazah yang dibuang di rawa tidak terlalu jauh dari daerah rumah saya," kata Amer.

Amer ingat bagaimana dia pergi ke kamar mayat di Bagdad dan melihat jenazah saling ditumpuk satu sama lain. Amer sangat terkejut dan terpukul ketika mengetahui bahwa salah satu jenazah yang ditemukan itu adalah mendiang kakak laki-lakinya.

"Saya mengenali salah satu jenazah dari jam tangan yang masih ada di sekitar tulang pergelangan tangan. Itu untuk kakak saya Kadhim," ujar Amer.

Amer kemudian mengambil jenazah kakaknya itu menguburkannya keesokan harinya di kota Syiah, Najaf. Dia mendirikan tenda pemakaman tepat di tempat yang sama saat dia merayakan kematian Saddam pada 2003. Sejak itu, Amer bersembunyi lagi.  Dia jarang keluar rumah kecuali untuk membeli makanan bagi istri dan ketiga putrinya.

Amer mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan konstruksi asing pada 2010. Tetapi lebih banyak masalah datang tiga tahun kemudian.  Amer ditangkap oleh milisi yang dekat dengan Asaib Ahl al Haq yang didukung Iran. Amer dipukuli serta dibuang di pinggir jalan dengan lengan, tulang rusuk, dan tiga gigi patah.

"Mereka mengatakan saya tidak boleh bekerja untuk perusahaan AS karena ini akan membuat saya seperti mata-mata," kata Amer.

“Terlalu sulit bagi saya untuk menerima situasi ini. Saya berkata pada diri sendiri bahwa saya tidak terlalu menderita di bawah rezim Saddam untuk akhirnya kehilangan anggota keluarga saya karena teroris, dan kemudian disiksa dan dipermalukan oleh sesama Syiah hanya karena saya sedang bermimpi mendapatkan kehidupan yang lebih baik," kata Amer.

Amer berhenti dari pekerjaannya karena takut kehilangan nyawanya. Dia memutuskan untuk melarikan diri ke Turki pada 2015. Dia membayar 5.000 dolar AS untuk membuar paspor palsu dan melarikan diri ke Eropa melalui Yunani.

Tetapi polisi di bandara Athena menangkapnya dan menjebloskannya ke penjara selama seminggu. Kemudian polisi mengirimnya kembali ke Turki.

"Saya muak dengan negara saya. Sungguh neraka bagi saya untuk tinggal di Irak dan saya memutuskan untuk terus berusaha bermigrasi meskipun harus mengorbankan nyawa saya," ujar Amer.

Pada  2016, polisi Turki menghentikan sebuah bus milik penyelundup migran ilegal Turki yang membawa 20 warga Irak termasuk Amer, yang mencoba menyeberang ke Yunani dengan perahu. 

Amer mengatakan, dia terpaksa kembali ke Irak sebulan kemudian. Sekarang, dia hidup dalam ketakutan bahwa kelompok Syiah akan memburunya. Amer mengatakan, dia masih bertekad untuk meninggalkan Irak setelah pasukan AS dan Irak merobohkan patung Saddam Hussein di Baghdad tengah dua dekade lalu.

"Saya bersembunyi di bawah rezim Saddam, dan sekarang saya bersembunyi lagi. Sebelum invasi, hanya ada satu Saddam. Hari ini lebih banyak lagi," ujar Amer.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler