Pembongkaran Bangunan Cagar Budaya di Cihampelas Kembali Diprotes
Bangunan cagar budaya di Cihampelas Bandung itu dulu dimanfaatkan untuk masjid.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Sejumlah warga kembali melakukan aksi untuk memprotes pembongkaran bangunan cagar budaya di kawasan Jalan Cihampelas Nomor 149, Kota Bandung, Jawa Barat. Sebelum dibongkar, bangunan cagar budaya itu sempat dimanfaatkan menjadi Masjid Nurul Ikhlas.
“Ini jelas sebuah pelanggaran hukum karena bukan hanya perusakan, tapi juga penghilangan cagar budaya. Sampai saat ini kami terus perjuangkan untuk mengembalikan Masjid Jami Nurul Ikhlas untuk kembali seperti semula karena masjid ini tercatat secara resmi sebagai situs cagar budaya,” kata penggagas aksi, Hari Nugraha, kepada Republika, Kamis (21/3/2023).
Menurut Hari, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung sempat memberikan peringatan kepada PT KAI selaku pemilik bangunan cagar budaya itu. Namun, kata dia, bangunan cagar budaya itu kini menjadi minimarket. “Jadi, peringatan itu tidak digubris dan masjidnya diganti masjid kecil dan dipindahkan ke belakang. Padahal dulu masjidnya besar dan di pinggir jalan,” kata Hari.
Karena itu, Hari mengatakan, pihaknya akan terus menuntut agar bangunan cagar budaya yang dulunya dimanfaatkan menjadi Masjid Nurul Ikhlas dapat dibangun kembali sebagaimana bentuk aslinya. “Sampai kapan pun akan kami lawan karena sudah pelanggaran hukum,” kata dia.
Bangunan di Jalan Cihampelas Nomor 149 itu masuk dalam lampiran Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya. Bangunan itu masuk dalam cagar budaya golongan C. Dalam perda, golongan C ini adalah bangunan yang berusia paling sedikit 50 tahun, ditambah paling sedikit satu kriteria lainnya.
Dalam pelaksanaan pelestarian bangunan cagar budaya golongan C, ada sejumlah ketentuan yang diatur dalam perda. Di antaranya perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan karakter utama bangunan, serta detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan di sekitarnya dalam keserasian lingkungan.
Selain itu, dalam situs cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang sesuai dengan karakter lingkungan, serta fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana tata ruang.
Ketua RW 07 Kelurahan Cipaganti, Kecamatan Coblong, Agus N, yang mengaku sudah menetap lebih dari setengah abad di Cihampelas, menjelaskan, bangunan cagar budaya yang dipersoalkan ini dulunya merupakan rumah dinas bagi pejabat PT KAI. Menurut dia, rumah dinas itu dulu dihuni Hadi Winarso, seorang pejabat PT KAI.
“Warga setempat juga sudah tahu bahwa lahan tersebut dulunya memang mes (rumah dinas) PT KAI. Hadi Winarso memang pejabat PT KAI, yang kebetulan menempati rumah dinas tersebut sampai beranak pinak, sampai mengeklaim bahwa rumah dinas itu milik pribadi,” kata Agus.
Sepengetahuan Agus, cucu-cicit Hadi sempat membangun tempat tinggal di sekitar rumah dinas PT KAI itu, yang kala itu sudah dihuni oleh tujuh pegawai PT KAI lain beserta keluarganya. Namun, kata dia, pada 2007, rumah-rumah yang dinilai liar (bedeng) tersebut dibongkar.
Akan tetapi, menurut Agus, ada satu yang bertahan. “Masih ada satu yang bertahan, Bu Yuni. Pada 2007 itu kita rapat dan ada salah satu keponakan Yuni yang meminta untuk menggerakkan organisasi, di situlah ada Hari Nugraha (penggerak aksi), dan di sanalah dia turun untuk membantu Yuni,” kata Agus.
Menurut Agus, sejak itu aksi protes hingga perseteruan untuk memperebutkan lahan terus terjadi. Ia mengatakan, PT KAI berupaya mengamankan lahan tempat bangunan itu, tapi gagal. Hingga pada sekitar 2012 bangunan zaman Belanda itu ditempati organisasi keagamaan.
“Tapi, karena ada permasalahan internal, akhirnya mereka muncul dan rumah dinas itu diganti fungsi menjadi base camp pemuda panca marga (PPM). Lalu 2014 itu rumah dinas tersebut dibuka sebagai mushala. Jadi, ada ruangan kecil yang difungsikan menjadi mushala,” kata dia.
Pada sekitar 2017, menurut Agus, rumah tersebut disegel oleh kepolisian karena dinilai penyalahgunaan aset milik PT KAI. Meski demikian, sepengetahuan Asep, Hari bersikukuh memanfaatkan bangunan tersebut sebagai tempat ibadah atau masjid.
“Jadi, yang disebut cagar budaya itu aslinya bukan masjid, tapi rumah dinas PT KAI yang memang sudah ada sejak zaman Belanda, tapi difungsikan sebagai masjid,” ujar dia.