Kesederhanaan Bung Hatta: Ironi Sepatu Bally tak Terbeli dan Tas Branded Istri Pejabat
Bung Hatta harus terengah-engah membayar tagihan listrik rumah di Jalan Diponegoro Menteng.
MAGENTA -- Pada sidang kabinet paripurna awal Maret lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan semua abdi negara tidak pamer kekuasan dan kekayaan. "Sekali lagi saya ingin tekankan, supaya ditekankan kepada kita, kepada bawahan kita, jangan pamer kekuasaan, jangan pamer kekayaan," ujarnya.
Wajar saja jika Jokowi marah dengan kelakuan beberapa anak buahnya. Sebab, akhir-akhir ini banyak oknum pejabat negara yang sering pamer kekayaan di media sosial (medsos).
Beberapa istri-istri pejabat wara-wiri memamerkan koleksi tas brandednya di medsos. Banyak juga anak pejabat yang memamerkan mobil mewah milik orang tuanya di jalan raya. "Apalagi sampai dipajang-pajang di Instagram, di media sosial itu kalau aparat birokrasi sangat sangat tidak pantas," kata Jokowi.
Padahal, kehidupan sederhana dan disiplin seorang pemimpin atau pejabat di negeri ini sudah dicontohkan oleh Mohammad Hatta. Bung Hatta telah memberi teladan yang sepatutnya bisa ditiru.
Kesederhanaan Mohammad Hatta
Mohammad Hatta atau Bung Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, 12 Agustus 1902. Ia lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari Minangkabau.
Bung Hatta adalah wakil presiden Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945 hingga 1 Desember 1956. Meski pernah menjadi orang nomor dua di negeri ini, harta Hatta tidak berlimpah. Ia tidak mentang-mentang, Bung Hatta tetap sederhana dengan 12 ribu judul buku yang ia punya.
Baca juga: On This Day: 26 Maret 1968, Soeharto Terima Mandat Jadi Presiden Gantikan Sukarno
Dikutip dari buku Bung Hatta Kita: Dalam Pandangan Masyarakat terbitan Yayasan Idayu 1908, setelah berhenti dari jabatannya sebagai wakil presiden, Hatta tidak membawa uang sepeserpun dan tanpa memiliki saham di berbagai perusahaan. "Dan mobil Mercy serta Fiat itu yang bernomor 17845 dari pemerintah. Yang lain itu dipinjami," tutur anak kedua Hatta, Gemala Hatta dalam buku tersebut.
Bung Hatta harus terengah-engah membayar tagihan listrik rumah di Jalan Diponegoro 57, Menteng, Jakarta Pusat, setelah ia memutuskan mundur dari pemerintahan pada 1957. Bukan cuma keteteran membayar tagihan listrik, gas, dan air minum, Hatta juga tak mampu melunasi pajak mobil yang dibelinya dengan subsidi pemerintah. Tagihan telepon vilanya di Megamendung juga tak mampu dibayar Hatta karena tagihannya berlipat-lipat dari uang pensiunnya.
"Terserah kalau (telepon) mau dicabut," ujar Hatta pasrah melalui surat kepada Dirjen Pos, Telegraf, dan Telepon, seperti yang tertulis di buku Hatta: Jejak yang Melampai Batas terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) 2010.
Mohammad Hatta wafat pada 14 Maret 1980 setelah dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama sebulan karena ada pengapuran di belakang otak (cerebral) dan ada gejala wasir. Hatta yang menolak dimakamkan di Taman Makam Kalibata dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Saat itu, ratusan ribu orang tertunduk haru melepas kepergian Bung Hatta. Buya Hamka dan AH Nasution secara bergantian bertindak sebagai imam dalam sholat jenazah.
Di akhir hayatnya Bung Hatta tidak mewariskan harta untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Hatta hanya meninggalkan sejumlah uang di tabungan Tabanas.
Baca juga: Orang Betawi Sakit Obatnya Cuma Dedaunan: Resep Ramuan Tradisional, dari Borok Hingga Keremian
"Bapak sama sekali tidak punya deposito di bank," kata istri Bung Hatta, Rahmi Rachim seperti dikutip dari buku Bung Hatta Kita: Dalam Pandangan Masyarakat terbitan Yayasan Idayu Jakarta, 1980.
Semasa hidupnya, Bung Hatta ingin memiliki sepatu Bally, merek sepatu bermutu tinggi pada 1950-an. Hatta mencoba menabung untuk memiliki sepatu buatan Swiss itu karena harganya selangit.
Namun, keinginan memiliki sepatu Bally idamannya tidak kesampaian sampai akhir hayatnya. Uang tabungan Hatta tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau membantu kerabat dan kawan yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan. Padahal, Bung Hatta sudah menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya.
Kedisiplinan Mohammad Hatta
Sejak kecil, Mohammad Hatta telah menunjukkan sikap disiplin yang tinggi. Hatta hidup teratur dan melakukan segala sesuatu dengan tertib.
Hatta selalu mencatat uang sakunya dengan cermat. Hatta sangat hemat, tapi bukan berarti pelit. Hatta rajin mencatat uang pemasukan dan pengeluaran itu agar bisa memperkirakan apa yang beliau butuhkan.
Suatu ketika seorang wartawan asing datang untuk mewawancarinya. Hatta membukakan pintu dan hanya mempersilakan si tamu menunggu, alasannya sederhana, karena si pemburu berita tiba pukul 12.30 alias setengah jam lebih awal dari waktu yang mereka sepakati.
Baca juga: Sukarno tak Puasa Ramadhan Saat Bacakan Teks Proklamasi, Apa Sebab?
Meski menerima mobil dinas Ford, bekal 10 gulden per hari dan bahan bakar gratis, Hatta tak serta merta mengisi hari-harinya dengan pergi ke berbagai tempat wisata atau pelesiran.
"Serba teratur, sederhana, dan tak segan memberikan teladan. Begitulah sosok Hatta yang terekam dari cerita warga Bangka yang pernah bertemu dengannya," kata warga Bangka Zulkarnaen dan Raden Pandji seperti yang tertulis di buku Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman.
Saking disiplinnya soal waktu, kebiasaan Hatta jalan-jalan sore pernah dijadikan patokan jam pulang para pekerja perkebunan di Pulau Banda. Ceritanya begini. Saban hari, dari Senin hingga Sabtu sore sekitar pukul 16.00-17.00, Hatta selalu jalan-jalan mengelilingi pulau Banda melewati kebun pala. Dengan jarak tempuh sekitar tiga kilometer bolak balik dengan rute yang sama.
"Bila Hatta muncul, para pekerja akan berseru; 'Wah sudah jam lima.' Mereka lalu berhenti bekerja. Kemunculan Hatta menjadi penting karena tidak ada jam di kebun yang luas tersebut," tulis buku tersebut.
Di lain waktu, Bung Hatta juga pernah menegur seorang jenderal yang tidak menepati waktu. Namanya Mayor Jenderal Moestopo. Mayjen Moestopo pernah memimpin Pasukan Terate (Tentara Rahasia Tertinggi) pada 1946.
Mereka terdiri dari sekumpulan copet dan maling di front Subang, Jawa Barat. Pada Ahad pagi, Moestopo diminta menghadap Bung Hatta pada pukul 08.00. Nyonya Rahmi Hatta sudah menyiapkan di rumahnya berupa teh dan kue sebagai penganan sarapan.
Baca juga: On This Day: 23 Maret 1946, Bandung Lautan Api, Menolak Tunduk pada Penjajah
Moestopo segera bergegas ke rumah Bung Hatta. Nahas mobil yang membawanya mengalami masalah, terpaksa mobilnya didorong.
Moestopo yang terlambat lima menit saat tiba di rumah Bung Hatta langsung memberi hormat militer dengan tegap. "Hai Jenderal Moestopo! Kamu itu jenderal atau bukan? Kalau jenderal mana disiplinnya," hardik Bung Hatta dikutip dari buku Bung Hatta Pribadinya dalam Kenangan oleh Meutia Farida Swasono.
Saking disiplinnya soal waktu, wartawan kawakan Mochtar Lubis menjuluki Bung Hatta sebagai 'manusia jam'. "Celakanya kita kalau datang terlambat dari jam yang telah dijanjikan. Akan sukar sekalilah minta bertemu lagi, jika sekali terbukti kita tidak dapat menjaga waktu yang tepat," kenang Moctar Lubis dalam buku yang sama.
Saking sederhananya kehidupan Bung Hatta, musisi Iwan Fals sampai menciptakan lagu berjudul "Bung Hatta". Berikut liriknya.
Terbayang baktimu terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa sederhanamu
Bernisan bangga berkafan doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu
(MHD)
Baca juga:
Niat Puasa Ramadhan, Arab, Latin dan Terjemahan
Bukan Hanya Allahumma Laka Shumtu, Ini 7 Pilihan Doa Berbuka Puasa