Ramai Chatbot AI, Apa Manfaatnya untuk Kita?

Indonesia perlu hati-hati bersikap menghadapi teknologi chatbot AI ini.

Unsplash
Kemampuan kecerdasan buatan (AI) kini memunculkan pertanyaan sekaligus kekhawatiran./ilustrasi
Rep: Meiliza Laveda Red: Natalia Endah Hapsari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat media Agus Sudibyo mengatakan optimis terhadap transformasi digital perlu diimbangi dengan pandangan yang bersifat kritis. Menurut dia, Indonesia membutuhkan keseimbangan cara pandang optimis dan kritis.

Baca Juga


Misalnya, soal fenomena chatbot kecerdasan buatan (AI). Dari sisi pandangan optimis, kehadiran chatbot AI merupakan sebuah inovasi teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang bisa melahirkan mesin canggih.

Namun, jika dilihat dari pandangan kritis, perkembangan chatbot AI juga merupakan fenomena ekonomi politik. Sebab, di balik fenomena AI ada perusahaan Microsoft yang memiliki motif-motif ekonomi.

“Perusahaan ini melakukan survei digital terhadap penggunanya. Nah, perusahaan ini juga ada di Amerika Serikat (AS). Ketika model bisnis Google, YouTube, Microsoft dipersoalkan oleh Uni Eropa, yang membelanya adalah presiden AS langsung,” kata Agus dalam diskusi bertajuk Goenawan Mohamad, Algoritma, dan Disrupsi Digital di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur, pekan lalu.

Persoalan inovasi teknologi dalam memajukan kehidupan manusia tidak hanya soal perkembangan pengetahuan tetapi fenomena ekonomi politik. Bahkan itu mungkin geo ekonomi politik.

"Jika Indonesia tidak berhati-hati dalam bersikap, bisa jadi Indonesia akan menjadi objek saja. Pemasaran dari produk-produk AI itu dan kita tidak punya cukup perspektif untuk mengantisipasi residunya,” ujar dia.

Menurut Agus, AI dan internet of things memiliki prinsip, yaitu semakin banyak digunakan semakin banyak user behavior yang ditambahkan oleh platform. Jadi, produk AI yang diproduksi, digunakan oleh banyak orang untuk mendapatkan data yang lebih banyak lagi.

Oleh karena itu, perspektif optimis dan kritis harus seimbang. Terlebih, perspektif kritis harus muncul dari media massa dan masyarakat. Salah satu teori disebutkan adalah bentuk kekuasaan itu beraneka ragam.

Bukan hanya kekuasaan dan bentuk negara, melainkan platform digital yang dinilai memegang kekuasaan bisnis, budaya, dan memiliki dampak politik.

“Tidak ada pemilu di negara demokrasi yang tidak menjadi sasaran praktik propaganda komputasional. Praktik tersebut di belakangnya ada siapa? Pasti secara langsung akan melibatkan Google, Facebook, YouTube, Twitter, dan sejenisnya karena propaganda komputasional terjadi di platform mereka,” ucap dia. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler