BEM UI: Sewindu Berlalu, Sikap Pimpinan Kampus tidak Jelas Soal Kematian Akseyna

Melki menilai, UI seharusnya membentuk tim membantu keluarga korban Akseyna Dori.

Ist
Akseyna Ahad Dori.
Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Sikap rektor dan wakil rektor Universitas Indonesia (UI) atas kematian salah seorang mahasiswanya, Akseyna Ahad Dori yang terjadi 2015, dinilai tidak jelas. Selama delapan tahun ini, pihak kampus dituding tidak memberikan dorongan serius untuk mengungkap kasus dan membantu keluarga korban mendapat keadilan.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, Melki Sedek Huang menyebutkan, Rektor Ari Kuncoro dan Wakil Rektor Abdul Haris selama ini tidak menunjukkan sikap yang jelas untuk mengungkap misteri kasus tersebut. Sementara Humas UI dinilai selalu hanya memberikan jawaban normatif setiap menanggapi kematian Akseyna.

"Setiap menurunkan statement, hanya menurunkan Ibu Amelita Kepala Biro Humas. Bahkan dari Pak Ari Kuncoro, Pak Abdul Haris sebagai wakil rektor kami tidak pernah mendapatkan kejelasan, gimana sih sikap pimpinan ini terhadap kasus Akseyna. Terlebih Pak Abdul Haris itu Dekan MIPA ketika ada Akseyna meninggal," jelas Melki kepada Republika.co.id di Kota Depok, Jawa Barat, Senin (3/4/2023).

Menurut dia, BEM UI belum melihat respon yang baik para pimpinan dalam kasus tersebut. "Kita tidak bisa melihat sikap respons yang baik karena tidak pernah dihadirkan ke publik, sebenarnya argumentasi untuk mendukung keluarga yang hadir dari rektor maupun wakil rektor," kata Melki.


Baca: Tujuh Tahun Berlalu, Mari Bantu Polisi Ungkap Kasus Akseyna

Dia menyebut, kampus seharusnya menyampaikan secara terbuka dukungannya terhadap pengungkapan kasus Akseyna. Selain juga upaya terus-menerus kepolisian dalam menyelidiki kematian mahasiswa Akseyna di Danau UI.

Melki menilai, kampus seharusnya membentuk tim untuk membantu keluarga korban demi mendapatkan hak-haknya. Tim tersebut nantinya bertangungjawab untuk mendorong pihak terkait agar segera memberikan kejelasan ataupun membantu proses pendampingan keluarga korban yang selama ini berjuang sendirian.

"Jangan jadikan kasus Akseyna ini jadi bola panas yang amat sangat liar bagi kepolisian dan juga UI. Kepolisian bilang UI tidak mau buka pintu, tidak kooperatif, tapi UI mengatakan ini sepenuhnya kewenangan kepolisian," ujar Melki.

BEM UI menjelaskan, kasus ini bermula pada 26 Maret 2015, ketika sesosok jenazah ditemukan di Danau Kenanga, Universitas Indonesia. Jenazah tersebut diidentifikasi sebagai Akseyna Ahad Dori (Ace), mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Pada 30 Maret 2015, polisi menduga Ace tewas karena bunuh diri. Saat ditemukan, Ace mengenakan tas ransel yang berisi batu seberat 14 kilogram. Selain itu, ditemukan juga surat wasiat yang dititipkan oleh teman Ace sehingga menguatkan dugaan sebelumnya.

Namun, hasil autopsi membantah dugaan polisi. Hasil autopsi yang keluar tanggal 14 April 2015 menyatakan bahwa ditemukan luka lebam pada tubuh Ace yang disebabkan oleh benda tumpul. Dalam paru-paru Ace juga ditemukan pasir dan air yang mengindikasikan Ace masih bernafas ketika ditenggelamkan.

Selain itu, pada 22 Mei 2015, Deborah Dewi, seorang ahli Grafolog dari American Handwriting Analysis, menyatakan bahwa surat wasiat yang ditemukan bukan ditulis oleh Ace. Akhirnya, pada 28 Mei 2015, Polda Metro Jaya dan Polres Depok mengumumkan secara resmi pada publik jika kasus Ace adalah kasus pembunuhan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler