Pengamat: KLHK Punya Otoritas Penuh Keluarkan Izin Amdal

Agus Pambagio menyoroti ruwetnya proses persetujuan Amdal yang memakan waktu lama.

dok PGN
Terminal LNG (ilustrasi)
Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menuturkan dengan adanya UU Ciptaker proses persetujuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan izin lingkungan menjadi kewenangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tidak bisa diintervensi oleh pihak mana pun.  Menurut dia, para pihak yang berkepentingan hanya bisa memberikan masukan, namun kewenangan tetap ada di KLHK. 


"Dalam proses persetujuan Amdal, kewenangan mengeluarkan persetujuan Amdal sepenuhnya ada di Kementerian KLHK," ujarnya dalam siaran pers, Sabtu (8/4/2023).

Terkait dengan permasalahan adanya surat dari Kemenko Marves terhadap proses tindak lanjut tahapan Amdal yang sedang diajukan untuk Terminal LNG di Sidakarya, Bali sebagai implementasi  program energi bersih untuk kemandirian energi dan kepentingan masyarakat Bali, ia mengatakan  harus dilihat terlebih dahulu alasannya seperti apa.  Apakah memang ada faktor keamanan, atau ada hal lain. Misalnya terdapat faktor persaingan bisnis.

"Harus dilihat dulu apakah memang secara bisnis ada pesaingnya, kalau ada urusan kepentingan seperti itu (persaingan bisnis-Red) ya beda lagi, saya nggak mau komentar," ujarnya. Karena itu harus dikaji dengan mendalam, dengan catatan apakah ada persoalan dalam bidang lingkungan bukan ada konflik kepentingan.

Menurut Agus Pambagio, pihak lain di luar Kementerian KLHK sebenarnya hanya bisa memberikan masukan bukan intervensi. Dalam hal proses persetujuan Amdal, biasanya ada berbagai masukan baik itu dari berbagai pihak yang berkepentingan termasuk dari LSM. 

Jika seluruh syarat persetujuan sudah dilengkapi dan disetujui, maka KLHK melalui sidang Amdal di KLHK yang menentukan keluarnya proses persetujuan Amdal. "Amdal itu akan keluar setelah seluruh syarat dipenuhi dan sudah ada sidang di KLHK," ujarnya. Kalau belum ada sidang berarti masih berproses di Kementerian KLHK. 

Agus Pambagio juga menyoroti ruwetnya proses persetujuan Amdal yang sekarang ini memakan waktu lama akibat dari adanya UU Ciptaker, yang menarik seluruh proses persetujuan Amdal dan izin lingkungan dari daerah ke  KLHK. Hingga saat ini ada ribuan permohonan persetujuan Amdal mengantre untuk diproses di KLHK. 

Akibatnya, proses yang berlarut ini  bisa berdampak kepada risiko terhambatnya realisasi investasi di berbagai sektor. Utamanya adalan sektor bisnis yang memiliki resiko tinggi yang memerlukan persetujuan Amdal dan izin lingkungan, seperti bidang Migas dan Energi.

Menurutnya, penyebab lambatnya proses Amdal di KLH dikarenakan adanya kekurangan SDM yang memproses pengurusan perizinan. "Ketika ditarik ke pusat, SDM tidak ditambah, akibatnya terjadi deadlock," jelasnya. Terhadap, persoalan tersebut, pihaknya sudah memberikan masukan agar SDM di KLHK dibenahi. 

Adanya UU Ciptaker yang baru saja di sahkan oleh DPR menjadi percuma dan sia-sia, lantaran pemerintah dalam implementasinya tidak menyediakan anggaran, untuk merealisasikan agar UU Ciptaker berjalan. 

"Ciptaker kan dibuat untuk menyederhanakan perizinan, mempermudah dan mempercepat proses, tapi masa gratis, pasti ada cost nya, dan juga harus disiapkan untuk dashboard, sehingga terlihat semua di loket, kalau nggak ada anggaran terus gimana," ujarnya. 

Menurut Agus Pambagio,  ketika  kepengurusan Amdal ditarik ke pusat, sebenarnya dalam rangka penataan tata ulang, ketika sistemnya sudah terbentuk akan dikembalikan lagi kepada daerah. Selama ini izin yang sebelumnya ada di 37 Provinsi, satu sama lain berbeda-beda sehingga tidak standar, belum ada indikasi permainan uang. Hal itulah yang membuat perizinan ditata untuk dilakukan standarisasi. 

"Ketika sudah dibereskan di Jakarta,  sudah  terbentuk standar dan SOP nya akan dikembali ke daerah, termasuk sistem pengawasannya," katanya.

Sebelumnya, Gubernur Bali, Wayan Koster  mengirimkan surat penjelasan kepada Menko Maritim dan Investasi, Luhut B Panjaitan, terkait hasil kajian aspek keamanan, keselamatan operasi dan pelayaran dalam pembangunan terminal khusus Liquefied Natural Gas (LNG), di Sidakarya, Denpasar, Bali. 

Dalam suratnya yang dikirim pada tanggal 29 Maret 2023, Gubernur Bali  mengatakan bahwa kajian tersebut dilakukan oleh berbagai lembaga di antaranya adalah Universitas Udayana, Institut 10 November, Surabaya, PT JGC Indonesia, PT PLN Engineering dan PT Rinder Energia. Hasil kajian menyatakan tidak ada isu lingkungan yang muncul dalam proses pembangunan terminal khusus LNG, sesuai  dengan penjelasan Menteri  LHK dalam laporannya kepada Menteri Koordinator Maritim dan Investasi. 

Dokumen-dokumen hasil kajian sudah disampaikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup, yang dikirimkan pada tanggal 30 September 2022 perihal laporan status tindak lanjut proses persetujuan Lingkungan Rencana Terminal Khusus LNG di Bali. 

"Proses pembangunan terminal LNG di Sidakarta, Bali sudah melalui kajian detail dan komprehensif sehingga tidak ada isu lingkungan yang muncul dalam rencana tersebut. Setelah dilakukan penyesuaian desain terminal yang semula berlokasi di Tahura Ngurah Rai, menjadi floating storage dan pipa untuk mengalirkan LNG ditanam 10 meter- 15 meter, sehingga tidak mengganggu Mangrove," jelasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler