Komnas PA Dukung Revisi Sistem Peradilan Pidana Anak

Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait dukung revisi sistem peradilan pidana anak/SPPA.

Republika/Putra M. Akbar
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait usai menyaksikan sidang vonis untuk terdakwa AG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (10/4/2023). Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait dukung revisi sistem peradilan pidana anak/SPPA.
Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengaku dirinya mendukung revisi Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Indonesia saat ini. Dukungan ini dikatakannya setelah melihat berbagai kasus anak yang berkonflik dengan hukum seperti AG yang terbukti terlibat dalam penganiayaan David Ozora.

Baca Juga


Revisi SPPA disebutnya perlu untuk membedakan antara tindakan kejahatan dan kenakalan pada anak yang berkonflik dengan hukum. Karena selama ini, perbedaan antara keduanya dikatakannya masih belum jelas.

"Saya hadir di sini juga untuk memberi dukungan kepada pemerintah supaya segera mungkin merevisi Undang-undang sistem peradilan pidana anak karena tidak jelas mana kenakalan mana kejahatan. Kejahatan juga mana yang kejahatan ringan seperti tindak pidana ringan, kalau tundak pidana ringan bisa RJ (restorative justice)," jelasnya usai sidang vonis AG di PN Jaksel, Senin (10/4/2023).

Menurutnya, dalam kasus AG, seharusnya tidak boleh ditawarkan untuk restorative justice karena kelurahan korban pasti tidak akan setuju. Apalagi soal tawaran untuk diversi yang seharusnya seorang anak dengan usia 15 tahun tidak boleh dilakukan diversi.

Aris menyebut, belakangan ini banyak terjadi kasus anak yang melakukan tindak kejahatan yang tidak lagi bisa ditolerir. Sehingga pihaknya akan mendatangi Kemenkumham dan Komisi III DPR RI untuk membahas revisi SPPA.

"Karena kejadian dan kejahatan terhadap anak sudah tidak bisa diterima manusia lagi. Seperti tadi AG tidak mungkin kita terima, membiarkan terjadinya kekerasan dan tidak menyetop tindakan itu. Kemudian ada kasus-kasus anak di bawah 12 tahun telah melakukan kejahatan seksual seperti orang dewasa, lalu ini apakah diversi atau tidak, apakah ini masuk kenakalan atau kejahatan," ujarnya.

Dia juga kemudian memberikan contoh kasus anak di Sukabumi membacok korbannya dengan menyiarkannya secara daring. "Kalau dikaitkan dengan undang-undang sistem peradilan pidana anak rasanya tidak adil bagi keluarga korban, itu saya kira momentumnya hari ini," tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler