Jalur Pedestrian di Pasar Santa Jakarta Dibongkar, LSM akan Ambil Langkah Hukum
Menurut ITDP, kemacetan seharusnya dibiarkan saja sebagai punishment.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kebijakan Pj Gubernur DKI Jakarta membongkar jalur pedestrian dan jalur sepeda yang dibangun pada era Gubernur Anies Rasyid Baswedan di sekitar Pasar Santa, Jakarta Selatan menuai berbagai kecaman. Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), ancang-ancang akan mengambil langkah hukum.
“Kami akan melakukan upaya hukum apabila keberadaan fasilitas pejalan kaki dan lajur sepeda tidak dikembalikan sebagaimana sebelumnya,” kata Urban Planning, Gender, and Social Inclusion Associate ITDP Deliani Poetriayu Siregar saat dihubungi, Ahad (16/4/2023).
Menurut Deliani, kebijakan kontroversial tersebut tidak akan menyelesaikan kemacetan lalu lintas kendaraan bermotor di ruas-ruas jalan di wilayah DKI Jakarta.
“Permasalahan Kawasan Kebayoran Baru terkait dengan kendaraan bermotor, bukan karena kekurangan ruang, namun jumlah penggunaan kendaraan yang terus meningkat,” ujar Deliani.
Lebih lanjut, Deliani menilai penambahan jalan untuk kendaraan bermotor tidak pernah menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan. Justru penambahan jalan malah semakin mengundang kendaraan bermotor pribadi untuk menggunakan jalan.
Hal itu, kata dia, bagian dari siklus ketergantungan penggunaan kendaraan bermotor pribadi di kota, terutama kota besar DKI Jakarta. Kenyataan ini memunculkan dampak negatif terhadap kualitas layanan transportasi umum dan sebagainya.
“Dampaknya membuat kualitas layanan Transjakarta turun dengan adanya perbedaan kecepatan 28 persen antara koridor steril dan tidak steril, selain itu 45 persen warga mengalami kesulitan untuk berjalan kaki di trotoar karena parkir liar yang 90 persen mengokupansi trotoar,” jelas Deliani.
Deliani menjutkan, pihak ITDP pernah melakukan survei selama 24 jam di area Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Hasilnya area ini merupakan kawasan ekonomi di mana lebih dari 50 persen pengguna ruang jalan.
Kemudian pedagang UMKM dan sisanya pejalan kaki baik untuk kegiatan ekonomi maupun umum. Lalu dari survei yang sama pada Februari 2021, didapati bahwa pukul 09.00-19.00 WIB menjadi waktu dengan tingkat profil risiko sangat tinggi bagi pejalan kaki dan sepeda di kawasan Kebayoran Baru tersebut.
“Akibat dari okupansi kendaraan di trotoar dan kecelakaan lalu lintas akibat perilaku pengendara kendaraan bermotor, termasuk Jalan Wolter Monginsidi. Pada pukul 00.00-03.00, didapati kendaraan melaju lebih dari 60km/jam dan melawan arah di Jalan Woltermonginsidi,” jelas Deliani.
Selain itu, pembongkaran fasilitas pejalan kaki dan jalur sepeda adalah sebuah kemubaziran anggaran dan berimplikasi perbuatan melawan hukum. Dengan adanya kebijakan Pj Gubernur DKI tersebut maka puluhan miliar rupiah dialokasikan namun kemudian dihancurkan hanya dalam satu malam. Kemubaziran pengelolaan anggaran ini merupakan pidana penghilangan asset negara yang harus diusut tuntas, apalagi asset ini belum berumur lima tahun.
“Dalih mengendalikan kemacetan kendaraan pribadi adalah mengada-ada mengingat di kawasan itu tersedia fasilitas BRT Transjakarta sebagai opsi agar terhindar dari kemacetan,” terang Deliana.
Semestinya, sambung Deliana, kemacetan kendaraan pribadi baik mobil maupun sepeda motor harus diabaikan. Mengingat sudah ada solusinya berupa mass public transport, jalur sepeda dan fasilitas pejalan kaki di kawasan tersebut.
"Kemacetan adalah punishment bagi mereka yang masih bertahan dengan kendaraan pribadi, jadi biarkan saja."