Idul Fitri Hanya Satu Persinggahan, Latihan Mudik Menuju Keabadian
Ketika kelak kita mudik ke alam keabadian, jangan cari pusara kita di muka bumi, tetapi carilah pusara kita di hati manusia.
Hingar bingar persiapan merayakan selebrasi idul fitri terkadang menutup kesucian hari suci pasca Ramadhan. Tak sedikit orang yang sibuk merayakannya seraya melepaskan kewajiban yang harus ditunaikkan.
Demi selebrasi idul fitri banyak orang yang membatalkan ibadah puasa Ramadhan. Ada juga hal unik yang nyeleneh, tak sedikit orang yang ingin menunaikkan shalat sunat idul fitri di kampung halamannya seraya meninggalkan menunaikkan ibadah shalat Shubuh yang kedudukannya lebih tinggi daripada shalat sunat idul fitri. Tak sedikit pula orang yang melupakan zakat fitrah karena uangnya habis dibelanjakan “jaket” untuk bergaya di hari raya.
Sejatinya kita menyadari, idul fitri merupakan hari suci yang merayakannya merupakan bagian dari ibadah, sementara aksesoris dan segala kesibukan dalam merayakannya hanyalah urusan duniawi. Selebrasi idul fitri beserta tradisi mudik yang selalu melekat pada hari suci ini hanyalah satu persinggahan, latihan mudik menuju keabadian. Orang yang akan mudik ke kampung halamannya mempersiapkan segalanya agar tidak kelaparan dan tersesat di perjalanan.
Pada saatnya nanti, kita pun akan “mudik ke kampung halaman” kita yang sejati. Sudahkah kita mempersiapkan segalanya agar “tidak terserat dan kelelahan” ketika kita “mudik” kelak?
Kita harus jujur mengakui, karena beragam kesibukan duniawi, terlena dengan kesenangan, atau tenggelam dalam beragam musibah dan kesah kehidupan menjadikan kita sering lupa, kehidupan kita di dunia ini hanyalah persinggahan. Ibarat orang yang tengah melakukan pengembaraan, namun karena penat dan kelelahan, ia singgah di tempat teduh untuk sekedar mendinginkan suhu tubuh, melepas dahaga, dan kembali mengumpulkan tenaga untuk melakukan perjalanan menuju tempat yang ia idam-idamkan.
Seorang pengembara yang memiliki tujuan pasti, ia tak akan terlena dengan indahnya tempat persinggahan. Seindah dan senikmat apapun tinggal di tempat persinggahan, tempat tersebut bukanlah tujuan utama. Ia akan segera bangkit, kemudian berjalan kembali agar sampai di tempat tujuan yang sebenarnya.
Demikian pula dengan kehidupan kita. Dunia ini hanyalah tempat persinggahan. Yakin atau tidak, tak ada yang hidup abadi di tempat persinggahan ini. Suatu saat, kematian akan segera menjemput kita. Alam Barzakh atau alam kubur menjadi tempat persinggahan berikutnya bagi setiap orang sampai datangnya hari kiamat, menuju kehidupan abadi, kelak di akhirat. Kita tak mungkin dapat kembali lagi ke tempat persinggahan ini.
Kita harus menjadi seorang pengembara yang cerdas, sadar akan hakikat dan tujuan kehidupan, dan ingin mencapai tujuan tersebut dengan selamat. Selayaknya kita tak menyia-nyiakan kenikmatan, keindahan, dan apapun yang kita miliki selama tinggal di tempat persinggahan ini. Keterlenaan hidup di tempat persinggahan, apalagi sampai mabuk dengan berbagai keindahannnya seraya melupakan tujuan perjalanan yang sebenarnya akan mengakibatkan kecelakaan, kenistaan, dan kesengsaraan yang abadi kelak menyapa kita.
Setiap desah nafas, ucap, gerak, dan langkah kita harus memiliki nilai-nilai kebaikan. Kalaupun suatu saat tergelincir terhadap nilai-nilai jelek, gerak dan langkah kita menuju kepada kekejian, secepat mungkin kita harus menghapusnya sebelum usia kita terbenam atau sebelum matahari terbit dari barat. Taubat atas segala perbuatan cela dan nista merupakan satu-satunya jalan yang dapat membersihkan kekotoran jiwa dari perbuatan noda dan dosa.
Apapun yang kita miliki di tempat persinggahan ini harus menjadi bekal perjalanan menuju keabadian. Kita harus menjadikan dunia, tempat persinggahan ini sebagai ladang untuk menanam kebaikan, yang kelak kita dapat menuai atau memanen hasilnya dengan baik.
Apabila kita merenungi penciptaan manusia pertama, Nabi Adam a.s dan Siti Hawa a.s, mereka berdua di tempatkan di sorga dan hidup bahagia. Tak lama kemudian mereka tergelincir terhadap perbuatan dosa, diusir dari sorga, dan mereka hidup menderita. Kemudian mereka bertobat, dan kelak mereka berdua kembali ke sorga dan kembali hidup bahagia.
Lalu, kita sebagai anak, cucu, dan cicitnya, akankah kita seperti mereka berdua? Akankah kita kembali ke akhirat dengan sorga indah yang oleh Jalaluddin Rumi diibaratkan kota lampau tempat kebahagiaan abadi? Atau kita akan hidup dalam penderitaan nan abadi?
kita telah datang dari petala-petala langit
berteman dengan para malaikat di dalam sorga,
ke tempat yang sama kita akan bangkit
ke kota lampau itu, tujuh sorga berada.
Kita harus menyadari, kebahagiaan, musibah, dan kesah yang menimpa tak bisa lepas dari kekuasaan-Nya. Dia Maha Gagah, Maha Kuasa, sementara kita lemah, tak berdaya. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Tak ada daya dan kekuatan, kecuali dengan pertolongan-Nya.
Kita harus semakin menyadari, kebahagiaan, musibah, kesah yang menimpa, dan apapun yang kita miliki hanyalah sementara. Apapun yang kita miliki akan kembali kepada-Nya. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kita semua milik Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya.
Tak ada kewajiban lain sebagai seorang hamba selain berbakti kepada-Nya. Karenanya, apapun yang kita lakukan harus bernilai ibadah yang dapat bermanfaat bagi diri kita dan berimbas kepada kemakmuran seluruh makhluk di muka bumi ini. Manusia terbaik adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya, bahkan bermanfaat bagi seluruh makhluk lainnya.
Singkat kata, aktifitas kehidupan yang kita lakukan selama hidup di dunia ini harus menjadi perbuatan baik alias amal saleh yang bisa mewarnai buku catatan perbuatan baik kita di hadapan-Nya. Perbuatan baik yang kita lakukan kepada semua orang bahkan kepada seluruh makhluk-Nya akan menjadi umur kedua bagi kita, yang tentu saja menjadi bekal kebahagiaan hidup kelak di alam keabadian.
Sangatlah bijak dan bajik manakala kita senantiasa memperbaiki keyakinan kita kepada Allah, keyakinan akan adanya kehidupan yang abadi di akhirat kelak, seraya melakukan aktifitas baik yang bermanfaat bagi seluruh manusia dan makhluk-Nya di alam buana yang fana ini. Jika kita mampu melakukan semua aktifitas tersebut, kita akan akan menjadi orang yang ketika kita meninggal, pusara kita bukan hanya ada di muka bumi ini, tapi juga akan ada di hati setiap manusia, dan insya Allah kebahagiaan abadi, sorga Allah akan terbuka menanti kedatangan kita.
Sebagai penutup, dari tulisan sederhana ini, goresan pena Jalaluddin Rumi, seorang ulama sufi layak kita renungkan, “Ketika kelak kita mudik ke alam keabadian, jangan cari pusara kita di muka bumi, tetapi carilah pusara kita di hati manusia.”
Taqabbalallahu minna wa minkum. Selamat Idul Fitri 1444 H – 2023 M.