Partai Islam di Pemilu 2024
Tulisan mengenai peluang dan tantangan partai Islam di Pemilu 2024.
Landskap politik Indonesia secara garis besar terdapat dua jenis partai politik bila dilihat dari asas partai yang digunakan, yaitu (1) partai nasionalis dan (2) partai Islam. Partai nasionalis adalah partai politik menggunakan pancasila sebagai asas, sedangkan partai Islam selain menjadikan Islam sebagai asas, juga mendapat dukungan dari ormas-ormas Islam (Romli, 2008).
Meskipun secara statistik jumlah pemeluk Islam di Indonesia mayoritas, tetapi berbanding terbalik dengan perolehan suara partai-partai Islam dalam setiap pemilu. Pemenang pemilu legislatif sejak orde lama, orde baru, serta reformasi senantiasa dimenangkan partai nasionalis. Perolehan suara partai-partai Islam pada pemilu era reformasi, yaitu Pemilu 1999 (36.8%), Pemilu 2004 (38.1%), Pemilu 2009 (29.16%.), Pemilu 2014 (31,2%), dan Pemilu 2019 (32%).
Kecilnya perolehan suara partai Islam diangka 30% menunjukan para pemilih Indonesia lebih menyukai menyalurkan suaranya ke partai-partai nasionalis, bahkan di Pemilu 2019 banyak digadang-gadang sebagai “panen raya” suara partai Islam ternyata hasilnya jauh dari harapan. Populisme Islam yang sempat menguat di Pilkada DKI 2017 tidak mampu mengerek perolehan suara partai Islam. Meskipun pada Pemilu 2019 menunjukan naiknya suara dua partai Islam, yaitu PKB dan PKS, tetapi kita juga melihat berkurangnya suara satu atau dua partai Islam yang lain, artinya ceruk pemilih Islam sebenarnya tetap, mereka hanya bergeser pilihan ketika pemilu.
Terpuruk Suara
Terdapat tiga analisa mengenai keterpurukan suara partai-partai Islam. Pertama, masyarakat Indonesia semakin bergerak ke tengah secara pemahaman politik, mereka merupakan generasi baru telah terputus dengan konflik politik aliran, generasi baru ini hidup dalam atmosfer demokrasi, pemahaman mereka sudah kosmopolitan serta moderasi, jadi simbol dan jargon ideologis tidak begitu diminati. Bagi mereka antara partai Islam dengan partai nasionalis tidak memiliki perbedaan subtansial, keduanya bahkan sulit dibedakan dari program politik di tawarkan kepada pemilih. Terlebih partai-partai nasionalis memiliki sayap organisasi keumatan (Islam), seperti Baitul Muslimin milik PDI-P. Partai Demokrat memiliki Aliansi Nasional Religius (ANR), Aliansi Suara Rakyat (ASR), Badan Koordinasi Silaturahmi Ulama dan Umaroh (Bakosiru) dan Gerakan Pemuda Indonesia Satu (Garda Satu). Partai Golkar mempunyai Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), dan Pengajian Al-Hidayah.
Kedua, meski partai Islam memiliki banyak figur tokoh atau pemimpin, popularitasnya hanya menjangkau komunitasnya saja, belum muncul sosok menjadi magnet elektoral secara nasional yang mengakar serta diterima seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Ketiga, citra partai Islam kurang begitu baik dimata publik dengan munculya banyak konflik internal berujung perpecahan partai, terlebih konflik serta faksionalisasi tersebut muncul, bukan disebabkan perbedaan orientasi ideologi, tetapi lebih perebutan posisi kepemimpinan partai serta perbedaan arah dukungan menjelang pilpres.
Pemilu 2024
Pada bulan Desember 2022 Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapan partai politik peserta Pemilu 2024, terdiri dari delapan belas partai nasional serta lima partai lokal. Dari delapan belas partai nasional itu terdiri dari sembilan partai parlemen, yaitu PDI-P, Gerindra, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, PKS, Partai Demokrat, PAN, dan PPP. Serta lima partai politik non parlemen diantaranya Partai Perindo, PSI, Partai Hanura, PBB, dan Partai Garuda. Di tambah empat partai politik baru Partai Gelora Indonesia, Partai Buruh, Partai Kebangkitan Nusantara, dan Partai Ummat.
Dari delapan belas partai politik peserta Pemilu 2024, terdapat enam partai Islam terdiri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Ummat.
Tantangan Partai Islam
Tantangan terbesar partai Islam di Pemilu 2024 ialah memperluas ceruk pemilih, sudah saatnya partai Islam menggarap para pemilih yang berada dispektrum tengah, mengingat jumlah pemilih dispektrum ini sangat besar, menurut data dikisaran angka 80%, dengan perhitungan sekitar 20% merupakan pemilih ideologis (Al-Hamdi, 2020).
Partai Islam dari sekarang harus memikirkan serta membuat strategi memperluas basis konstituen diluar pendukung tradisional mereka, karena kalau mengandalkan dukungan dari pemilih tradisional jumlahnya dikisaran 30% tidak akan mengalami lompatan signifikan di Pemilu 2024. Secara kuantitas pemilih di Pemilu 2024 banyak didominasi pemilih milenial yang memiliki karakteristik berbeda dari pemilih sebelumnya, pemilih milenial merupakan tipe masyarakat enggan menerima narasi satu arah bersifat top down, mereka lebih menyukai interaksi secara horizontal.
Masyarakat politik era digital kurang menggemari tampilan ideologis, mereka lebih menyukai perpindahan dari satu isu ke isu lain, tipe generasi sangat dinamis dan cair. Hal ini bisa dilihat dari kultur generasi muda kontemporer yang menyukai budaya egaliter, setara, dan terbuka. Mereka tidak suka wajah politik tertutup serta beraroma feodalisme, sebuah generasi kerap berpikir kritis atas berbagai hal. Artinya gaya pengelolaan partai politik harus ikut berubah, tidak bisa seperti sebelumnya sangat kental aroma oligarkis.
Partai Islam dari sekarang harus mendesain isu-isu politik mendekatkan dengan karakteristik masyarakat digital Revolusi 4.0. Karena beradapatasi dalam dunia politik sangat penting, partai harus bisa mengikuti trend perubahan pemilih, meskipun bukan berarti mengilangkan sisi ideologis dari partai. Ideologi bagai partai politik masing memilki peran penting, tetapi bagaimana mengemas bahasa ideologi lebih membumi, terbuka, serta kontekstual dengan perkembangan zaman.
Kemudian kehadiran partai Islam baru mengincar ceruk sama, biasanya kesempatan partai baru mendapatkan dukungan dengan memanfaatkan kekecewaan, kemarahan, dan keputusasaan pemilih atas buruknya kinerja politisi yang berkuasa baik di eksekutif atau legislatif. Meskipun peluang mempertahankan konstituen seharusnya bisa dilakukan partai-partai lama, mengingat memiliki logistik besar serta jejaring kader lebih kuat, solid, dan luas, tetapi biasanya penyakit dalam politik dimana-mana sama, yaitu pihak berkuasa gagal memberikan kepuasaan kepada para pemilih.
Strategi Partai Islam
Setidaknya terdapat beberapa langkah bisa dilakukan partai-partai Islam. Pertama, mesin partai harus digerakan secara maksimal dari tingkat pusat sampai daerah, dengan melakukan aktifitas kaderisasi secara kontiyu serta solid. Kedua, mempraksiskan program-program politik yang menjadi pusat perhatian masyarakat, partai harus hadir ditengah-tengah masyarakat dalam menyelesaikan berbagai problem dirasakan serta dihadapi masyarakat, agar simpati publik mampu menaikan tingkat elektabilitas partai.
Ketiga, program partai harus bersifat subtansi menyasar isu-isu bersifat kerakyatan, karena basis pemilih Indonesia umumnya lebih menyukai program berdimensi subtansi-solutif dari pada narasi ideologis. Keempat, memasang caleg legislatif dari pusat sampai daerah yang memiliki integritas, komitmen, dan popularitas tinggi. Tujuannya selain menarik suara signifikan, juga menempatkan orang tepat dilembaga legislatif.
Kelima, menentukan figur tepat dalam kontestasi capres-cawapres, agar partai-partai Islam mendapatkan efek ekor jas (coattail effect), terlebih menurut hasil survei terbaru Litbang Kompas partai politik harus berhati-hati menentukan pasangan capres-cawapres nanti, mengingat trend pemilih akan melabuhkan suaranya ke partai politik yang mengusung capres-cawapres sesuai dikehendaki konstituen partai. Jadi partai harus menyerap aspirasi secara holistik keinginan kader, konstituen, dan simpatisan agar berbanding lurus antara suara pemilihan presiden-wakil presiden dengan suara partai politik pengusungnya.
Penutup
Terakhir partai-partai Islam harus memiliki pemikiran politik genuine mengenai arah Indonesia kedepan, sebab politik menurut Abu al-Hasan al-Mawardi dalam karyanya berjudul Adabu ad-Dunya wa ad-Din, politik merupakan industri atau pabrik pemikiran, dunia politik itu menawarkan berbagai pemikiran serta gagasan untuk membangun bangsa di masa depan, dengan menggali konseptualisasi dari basis ideologi dimiliki, sudah saatnya wajah politik Indonesia dihiasi berbagai narasi dari Islam politik yang berisi pemikiran membangun, dialektis, dan kritis.
Gili Argenti, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik, FISIP, Universitas Padjadjaran (UNPAD).