Soal Gaji Rendah, Aptisi Sebut Kondisi Kampus Berdampak pada Kesejahteraan Dosen Swasta

Djatmiko mengakui masih banyak dosen yang bergaji hanya Rp 2 juta setiap bulan.

www.freepik.com
Ilustrasi dosen sedang mengajar. Hanya ada sembilan persen dosen di Indonesia yang menerima gaji lebih dari lima juta rupiah per bulannya.
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Prof Budi Djatmiko, menyoroti kesejahteraan dosen yang masih jauh dari layak hingga saat ini. Menurut dia, masih banyak sekali dosen yang berpendapatan di kisaran Rp 2 juta setiap bulannya.

“Pertama masyarakat harus tahu, Perguruan Tinggi (PT) swasta di Indonesia ada 4.520. Tapi, hanya 30 persen yang memiliki mahasiswa di atas seribu orang,” kata Budi kepada Republika.co.id, Rabu (3/5/2023).

Artinya, kata dia, 70 persen kampus swasta di Indonesia dengan fasilitas kurang memadai dan akreditasi rerata C dan bahkan tidak terakreditasi, memiliki mahasiswa yang jauh lebih sedikit. Hal itu, berdampak pada kesejahteraan dosen yang minim.

Meski ada peningkatan bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) sekitar Rp 2,4 juta per semester, nilai itu masih tergolong rendah. Dia membandingkan, di negara tetangga, Singapura, rerata perguruan tingginya memberikan dana khusus hingga Rp 50 juta bahkan Malaysia sudah di atas Rp 30 juta per.

“Lalu harus bagaimana? artinya harus ada anggaran sertifikasi dosen dan perbaikan bantuan fasilitas di universitas swasta,” tutur dia.

Budi menambahkan, sejauh ini penghasilan dosen dari mengajar murni dari yayasan, berkisar di bawah UMR daerah masing-masing. Ihwal menaikan biaya kuliah, yang berdampak pada penurunan mahasiswa, pihaknya menyarankan bantuan lain.

“Artinya harus ada juga anggaran sertifikasi dosen, kan lumayan, misal biaya sertifikasi Rp 2,5 juta per bulan, ditambah dari yayasan misal Rp 2,5 juta jadi Rp 5 juta kan,” tegas dia.

Dia tak menampik, sangat sulit untuk menyamaratakan penghasilan atau kesejahteraan dosen di tiap-tiap perguruan tinggi. Pasalnya, jumlah mahasiswa, biaya kuliah hingga fasilitas yang ditawarkan juga memiliki kesenjangan.

“Jadi selain dari sertifikasi, KIP, bantuan kepada PT swasta juga bisa dengan laboratorium,” tutur dia.

Sebelumnya, hasil survei menunjukkan sebagian besar dosen mendapatkan gaji yang jauh dari kata layak. Akademisi yang juga dosen ilmu manajemen Universitas Indonesia (UI), Kanti Pertiwi, mengatakan, mayoritas gaji dosen yang dikumpulkan dari 1.300 responden berada di kisaran Rp 2 juta hingga Rp 5 juta per bulan.

Keluhan gaji rendah oleh dosen bertepatan dengan momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei. Sehari sebelumnya, 1 Mei, para buruh di berbagai daerah di Tanah Air berunjuk rasa menuntut beragam hal. Salah satunya adalah upah murah yang mereka terima selama ini dan ketidakberdayaan terhadap perusahaan pemberi kerja.

“Rentang gaji yang paling banyak adalah di angka Rp 2-3 juta per bulan dan ada Rp 4-5 juta per bulan, jadi mayoritas Rp 2-5 juta per bulan. Beberapa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjadi pejabat struktural di kampusnya masing-masing, walaupun itu jadi persoalan tersendiri,” kata Kanti pada diskusi tentang serikat dosen yang diikuti secara daring di Jakarta, kemarin.

Kanti melanjutkan, pendapatan tersebut apabila dibandingkan dengan tuntutan kualifikasi dosen yang harus menempuh pendidikan S-2 atau S-3, menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit untuk sekolah. Beberapa dosen bahkan berhenti dari pekerjaan rutin dan ketika kembali hanya diberikan kompensasi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

“Periode awal karier dosen adalah masa-masa kritis. Dengan gaji Rp 2-3 juta bergelar S-2, dan telah bekerja kurang dari tiga tahun, di usia mereka itu sedang membangun rumah tangga, ada cicilan hunian, biaya sekolah anak yang tidak sedikit, dan hanya 9 persen partisipan survei yang mendapatkan gaji di atas angka tersebut,” ujar dia.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler