Haul Guru Tua Habib Idrus Bin Salim Dihadiri Puluhan Ribu Orang, Siapa Dia?
Guru tua merupakan pendakwah Islam yang jadi teladan warga Sulawesi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketokohan Habib Idrus bin Salim Al-Jufri patut untuk disimak. Habib Idrus, yang populer dengan nama Guru Tua, lahir di Tarim, Hadramaut, Yaman, pada 15 Maret 1892. Dakwahnya di Indonesia dijalankan melalui pendirian lembaga pendidikan agama Islam.
Lembaga pendidikan Islam yang pertama didirikannya di Indonesia bersama sang kakak (Sayyid Alwi bin Salim Aljufri) yakni berbentuk madrasah, dengan nama Al-Hidayah. Lembaga ini berada di Wani, Palu, Sulawesi Tengah.
Habib Idrus di masa kecilnya telah menunjukkan kecerdasan. Pada usia 12 tahun, Guru Tua sudah hafal Alquran. Selain ilmu agama, dia juga menguasai ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu falak dan aljabar.
Semua pelajaran itu Habib Idrus kecil dapatkan dari ayahnya, Habib Salim. Habib Salim adalah seorang qadhi (hakim) dan mufti (Ulama yang memiliki otoritas mutlak untuk memberi fatwa) di Kota Taris, Hadramaut.
Sedangkan kakek Habib Idrus adalah al-Habib Alwi bin Segaf al-Jufri, yang merupakan ulama pada masa itu. Beliau adalah salah satu dari lima orang ahli hukum di Hadramaut yang fatwa-fatwanya terkumpul dalam Bulugh al- Mustarsyidin, karya al-Imam al-Habib Abdurrahman al-Masyhur.
Habib Salim menyadari, anaknya ini potensi besar untuk menggantikan dirinya. Karena itu, dia mendidik Habib Idrus secara khusus. Bahkan ia membuat kamar khusus bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi belajar. Habib Idrus mendalami berbagai ilmu dan kajian agama. Ia berguru kepada ulama di Hadramaut. Antara lain Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, dan Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih.
Kisah hijrah ke Indonesia
Lihat halaman berikut >>
Guru Tua, sebagaimana dilansir di laman resmi Alkhairaat, pertama kali pindah ke Indonesia ketika usianya 17 tahun, setelah dibawa oleh ayahnya, Habib Salim, ke kota Manado. Kemudian Habib ldrus dan ayahnya kembali lagi ke Hadramaut. Di Hadramaut, Habib ldrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayahnya. Yaman saat itu, sejak 1839, sedang dalam penjajahan Inggris, dan Hadramat dalam keadaan bergolak.
Guru Tua juga sempat pindah ke Pekalongan dan menikah dengan Syarifah Aminah binti Thalib Al Jufri. Saat itu dia berdagang kain batik tetapi tidak kunjung mengalami kemajuan. Sebab, dia lebih mencintai dunia pendidikan.
Dari pernikahannya dengan Syarifah Aminah, ia dikaruniai dua anak perempuan, yakni Syarifah Lulu’ dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu’ kemudian menikah dengan Sayyid Segaf bin Syekh AI-Jufri, dan salah satu anaknya adalah Salim Segaf Al-Jufri, yakni Menteri Sosial Indonesia ke-26 dan Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kesultanan Oman Periode 2005-2009.
Guru Tua juga pernah tinggal di Solo. Dibantu oleh mantan muridnya saat di Hadhramaut, Guru Tua dapat mendirikan madrasah bernama "Perguruan Arrabithah Alawiyah". Dia menjadi guru dan kepala sekolah di madrasah tersebut.
Setelah itu, ia pindah ke Jombang pada tahun 1926. Di daerah ini Guru Tua berkenalan dengan beberapa tokoh Islam, salah satunya KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Habib Idrus dan Kiai Hasyim Asy'ari punya pemahaman yang sama karena sama-sama menganut paham Imam Syafi'i.
Guru Tua juga berdakwah hingga wilayah Timur Indonesia, salah satunya Maluku. Dia melakukan perjalanan dakwah ke sejumlah daerah seperti Bacan, Jailolo, Morotai, Patani, Weda, Kayoa dan daerah lain. Selanjutnya ia juga ke Sulawesi Utara, Sulawesi selatan, Kalimantan dan Irian Barat.
Lalu, atas ajakan kakaknya (Habib Alwi bin Salim Al Jufri), Guru Tua berlayar ke Manado. Dari kedatangan di daerah itulah, kelak Habib Idrus akan mendirikan Alkhairaat di Kota Palu Sulawesi Tengah.
Mulanya, Guru Tua pindah ke Wani setelah diminta oleh Habib Alwi untuk mengajar di Wani pada tahun 1929. Habib Alwi saat itu menggambarkan situasi masyarakat dan komunitas Arab di Wani. Madrasah Al Hidayah pun berdiri, sebagai tempat belajar-mengajar.
Guru Tua tinggal di Wani selama hampir satu tahun. Kemudian pada 1930, dia pindah ke Lembah Palu (Kota Palu yang dulunya bernama Celebes) karena mendapat dukungan dari Raja Djanggola untuk mengajar di kota tersebut. Tempat belajar-mengajarnya hanyalah ruangan toko milik Haji Quraisy dan rumah Haji Daeng Marocca.
Pendirian Alkhairaat
Lihat halaman berikutnya >>
Hingga akhirnya, Lembaga Pendidikan Islam Alkhairaat diresmikan pada tanggal 14 Muharram 1349 H atau 30 Juni 1930. Di masa awal, tempat lembaga tersebut melakukan aktivitas belajar-mengajarnya adalah di lantai bawah rumah Haji Daeng Marocca.
Masyarakat setempat kala itu tergolong sangat terbelakang dalam memahami ajaran Islam, sehingga inilah yang membuat Guru Tua terinspirasi untuk menancapkan jejak dakwahnya dengan kuat di Palu. Ada satu strategi yang dijalankan oleh Guru Tua agar dakwah melalui pendidikan ini bisa dapat diterima di kalangan masyarakat.
Strategi diperolehnya setelah menerima saran dari sejumlah tokoh masyarakat. Sampai kemudian, Guru Tua memutuskan menikahi salah seorang bangsawan Puteri Kaili, bernama lengkap Hj. Ince Ami, yang akrab disebut Ite. Ite adalah janda dengan kepemilikan banyak toko dan tanah, dan dia menjadi sosok penting dalam mengembangkan Yayasan Alkhairaat Pusat. Sosok Ite ibarat Siti Khadijah, yang berperan besar membantu Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan dakwah Islam di masa awal.
Alkhairaat didirikan saat Guru Tua berusia 41 tahun. Guru Tua menjadi inspirator terbentuknya sekolah di berbagai jenis dan tingkatan di Sulawesi Tengah. Alkhairaat pun berkembang terus di kawasan timur Indonesia.
Aral Melintang Perjuangkan Alkhairaat
Selama melakukan proses belajar mengajar di Alkhairat, Habib Idrus atau Guru Tua tidak memungut biaya dari murid-muridnya. Tujuannya untuk menjaga konsentrasi murid-muridnya. Model sekolah gratis ini, ia ambil dari sistem pendidikan di dunia Arab yang umumnya dilaksanakan secara cuma-cuma.
Adapun untuk membayar gaji para guru yang membantu mengajar, Habib Idrus menggunakan hasil perniagaan. Berkat keikhlasan dan keuletan, perguruan Alkhairaat terus berkembang dan mencetak para kader ulama dan pendakwah yang militan. Mereka tersebar di seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua.
Perguruan Alkhairaat dan para santrinya berperan besar membendung aksi misionaris di kawasan Indonesia timur. Pada masa Hindia Belanda, terdapat tiga organisasi yang bertugas mengkristenkan suku-suku terasing di Sulawesi Tengah di antaranya Indische Kerk (IK) berpusat di Luwu, Nederlands Zending Genootschap (NZG) berpusat di Tentena, dan Leger Dois Hest (LDH) berpusat di Kalawara.
Perjalanan setelah Alkhairaat berdiri tidak mudah, terutama karena ada tekanan dari Jepang. Pada 11 Januari 1942, Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan Manado sebagai pusat pangkalan di kawasan timur Indonesia. Jepang memerintahkan menutup Alkhairaat.
Secara kelembagaan, Alkhairaat memang ditutup, tetapi proses belajar mengajar tetap berjalan dengan sembunyi-sembunyi di Desa Bayoge, 1,5 kilo meter dari lokasi Alkhairaat berada. Aktivitas belajar-mengajar berlangsung di malam hari dengan hanya menggunakan penerangan seadanya. Para murid datang satu per satu secara sembunyi-sembunyi. Usai Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Habib Idrus kembali membuka Perguruan Alkhairaat secara resmi.