CIPS: Regulatory Sandbox Bantu Evaluasi Kebijakan Ekonomi Digital
Regulatory sandbox dapat dipakai pada sektor lain seperti kesehatan dan pertanian.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pemerintah bisa menggunakan regulatory sandbox sebagai wadah evaluasi kebijakan ekonomi digital untuk mendapatkan kebijakan yang menjawab kebutuhan masyarakat dalam penggunaan teknologi digital yang aman dan inklusif.
Regulatory sandbox merupakan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola penyelenggara inovasi keuangan digital (IKD). "Di ranah ekonomi digital, efisiensi dan efektivitas produk hukum atau kebijakan dapat dipastikan dengan terlebih dahulu untuk diuji coba dalam sebuah lingkungan dengan skala terbatas," ungkap Head of Economic Opportunities Research CIPS Trissia Wijaya dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Menurut dia, uji coba ini juga perlu dilakukan pada situasi terkondisi atau terkontrol dalam jangka waktu tertentu sebelum penerapan sebenarnya. Dengan demikian, regulatory sandbox dapat menyediakan semacam wadah untuk inkubasi dan menguji keandalan instrumen hukum, kebijakan, layanan, maupun inovasi atau teknologi.
Regulatory sandbox memang masih terbatas digunakan untuk produk teknologi finansial (tekfin/ /fintech). Namun tidak tertutup kemungkinan dapat digunakan pada produk-produk dari sektor lainnya, seperti sektor kesehatan dan pertanian.
Dengan sandbox yang dijalankan selama jangka waktu tertentu di bawah pengawasan pemerintah, Trissia menilai, efektivitas sebuah regulasi dapat dilihat sebelum diterapkan.
Keuntungan lainnya bagi pemerintah yaitu memahami dampak kebijakan tersebut terhadap konsumen, pasar, dan lingkungan pemerintahan. Cara ini dapat membantu pemerintah dalam memfokuskan strategi nasional digitalisasi ekonomi, termasuk segi keamanan serta keinklusifannya.
Dalam ekonomi digital yang identik dengan perubahan secara cepat dan dinamis, ia menilai kebijakan pemerintah harus dapat mendukung perubahan, inovasi, dan cukup fleksibel bagi pihak yang menerapkannya. Penggunaan pendekatan co-regulation atau pengaturan bersama dapat diujicobakan untuk lebih mengasah ketajaman kebijakan dan produk hukum pendukungnya.
Pendekatan pengaturan bersama melibatkan kementerian dan lembaga negara lainnya beserta pemangku kepentingan nonpemerintah dan asosiasi bisnis dalam pembuatan kebijakan atau peraturan. Pengaturan bersama menekankan pembagian tanggung jawab antara para pelaku, negara maupun non-negara, serta terfokus pada kolaborasi dalam pembuatan, adopsi, penegakan, serta evolusi kebijakan dan peraturan.
"Pendekatan pengaturan bersama ini menawarkan berbagai keuntungan dibandingkan dengan pendekatan konvensional. Fleksibilitas dan kemampuan adaptasi yang lebih baik, tingkat ketaatan yang lebih tinggi, serta kemampuan menangani isu-isu spesifik sebuah industri atau konsumen secara langsung," tambahnya.
Selain itu, lanjut Trissia, pengaturan bersama juga secara tidak langsung dapat mengukur kesiapan pihak non pemerintah dan pelaku usaha dalam mengadopsi sebuah kebijakan baru.
Dalam konteks ekonomi digital, pendekatan ini memiliki potensi untuk menjadi instrumen kebijakan yang efisien dengan sifat fleksibilitas dan adaptif karena sifat ekonomi digital yang sangat dinamis. Tetapi yang perlu dipastikan dengan keterlibatan pemerintah yakni produk yang dihasilkan tidak dibajak oleh kepentingan sempit kelompok atau industri tertentu.