Cerita Keluarga Korban TPPO di Myanmar: Iming-Iming Gaji Hingga Dugaan Penganiayaan
Korban asal Bandung tertarik bekerja di luar negeri setelah menganggur saat pandemi.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Salah satu korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dilaporkan disekap di Myanmar berasal dari Bandung, Jawa Barat. Keluarga korban menceritakan bagaimana warga Bandung berinisial M ini bisa berangkat ke luar negeri hingga terjebak di Myanmar.
M awalnya dikabarkan kehilangan pekerjaan akibat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat dampak pandemi Covid-19. Setelah sekitar dua tahun menganggur, M mendapat informasi dari temannya soal lowongan pekerjaan di Thailand.
Lowongan pekerjaan di luar negeri itu menarik perhatian M. Kakak sepupu M, Valeria Buring, menjelaskan, sepupunya tertarik dengan tawaran gaji yang terbilang tinggi.
“Dengan iming-iming gaji, fasilitas yang bagus, makan empat kali, termasuk snack. Ada mes gratis. Tinggal terima gaji saja itu sekitar Rp 10-15 juta. Belum lagi ditambah bonus jika mencapai target. Tentu dengan iming-iming itu dia sangat antusias untuk pergi,” ujar Valeria, saat ditemui di kediamannya di Bandung, Jumat (5/4/2023).
Akhirnya, pada 22 Oktober 2022, M bersama sejumlah orang dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul di Bekasi, tempat perusahaan yang dikabarkan akan menyalurkan mereka bekerja ke Thailand. Menurut Valeria, sepupunya kemudian menuju Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, pada 23 Oktober, untuk berangkat ke Thailand.
Setibanya di Thailand, Valeria mengatakan, sepupunya itu diminta oleh keluarga untuk mengirimkan informasi lokasi di sana. Namun, kata dia, permintaan keluarga tidak dipenuhi lantaran pihak penyalur melarang M menggunakan telepon genggam (handphone).
Berdasarkan informasi yang didapatnya, menurut Valeria, sepupunya bersama sejumlah orang lainnya itu dibawa ke lokasi dengan waktu perjalanan sekitar delapan jam. Diketahui mereka dibawa ke Myawaddy, Myanmar.
Di sana, Valeria mengatakan, M diminta menandatangani kontrak kerja, yang disebutnya menggunakan bahasa asing. Menurut dia, M awalnya menolak karena tidak paham isi kontrak itu. Namun, kata dia, sepupunya akhirnya menandatangani kontrak itu karena mendapat ancaman denda,
“Dia cerita, saya disuruh tanda tangan kontrak bahasa Mandarin. Terus M enggak berani, enggak mau tanda tangan. Katanya, kalau enggak mau tanda tangan, boleh pulang, tapi harus bayar denda karena kan sudah di sini. Mau enggak mau, setengah dipaksa untuk tanda tangan,” kata Valeria.
Setelah menandatangani kontrak, menurut Valeria, sepupunya itu diminta langsung bekerja. Ternyata, kata dia, pekerjaan yang mesti dilakukan tidak sesuai. “Mereka disuruh scamming (modus penipuan), mengajak orang investasi ke sebuah website yang bodong,” katanya.
Berdasarkan informasi yang didapatnya, Valeria mengatakan, M bersama sejumlah pekerja lainnya diminta mencari nomor telepon calon korban menggunakan aplikasi tertentu. Aplikasi tersebut memperlihatkan profil dari calon korban yang sesuai kriteria.
Valeria menjelaskan, informasi itu didapat dari M yang sesekali bisa menggunakan telepon genggam secara sembunyi-sembunyi. Menurut dia, informasi itu juga didapat dari grup keluarga para pekerja migran.
“Mereka itu dikasih handphone akhir pekan untuk kasih kabar ke keluarga. Awalnya tiap pekan (memberi kabar). Lama-lama sebulan karena enggak mencapai target,” kata Valeria.
Menurut Valeria, sepupunya dan sejumlah pekerja lain mendapat hukuman dari agen penyalur kerja jika dinilai melakukan kesalahan. Bentuk hukumannya, kata dia, seperti push-up dan lari di lapangan. Ia menyebut ada juga yang dikenakan denda apabila terlambat datang bekerja.
“Lama-lama ceritanya mulai enggak benar. Telat dikit saja dendanya beribu-ribu. Enggak bener banget ini, penipuan,” kata Valeria.
Valeria mengatakan, gaji yang diterima sepupunya juga tidak pernah penuh karena ada potongan denda dan lainnya. “Mereka terima gaji cash, enggak full. Ada potongan denda, uang sakit berobat dipotong gaji mereka, ada yang minus,” ujarnya.
Menurut Valeria, M sempat meminta tolong kepada dirinya agar bisa pulang ke Indonesia. “Kalau mau pulang harus bayar Rp 150-200 juta per orang. Sebelum kontrak habis enggak bisa pulang,” kata dia.
Merespons permintaan itu, Valeria mengatakan, keluarganya bersama keluarga pekerja lain asal Indonesia akhirnya melapor ke Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) sejak Januari lalu. Persoalan itu juga disebut dilaporkan ke Bareskrim Polri.
“Terakhir komunikasi saya sama M sebelum disekap itu saat Lebaran. Sebelum itu kita komunikasi diam-diam, semua ponsel ditahan. Satu atau dua orang berhasil menyembunyikan, bawa dua handphone, masih bisa komunikasi,” kata Valeria.
Menurut Valeria, sempat ada informasi soal perlakuan buruk atau dugaan penganiayaan terhadap para pekerja. “Tolong, bagaimana ini, kami disiksa. Ada yang dipukul, disetrum. Sejauh ini saya disuruh keliling, cuma teman-teman yang lain ada yang disetrum,” kata Valeria, menirukan kabar dari sepupunya.