Muhammadiyah: RUU Kesehatan Seolah Kembali ke Masa Orde Baru

Muhammadiyah menyoroti sistem pendidikan yang diatur Kemenkes.

Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah tenaga kesehatan saat melaksanakan aksi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Senin (8/5/2023). Aksi damai yang dilaksanakan oleh gabungan organisasi profesi kesehatan itu menolak RUU Omnibus Law Kesehatan yang dinilai berpotensi memecah belah profesi kesehatan, melemahkan perlindungan dan kepastian hukum tenaga kesehatan. Selain itu mereka juga menuntut pemerintah untuk memperhatikan sejumlah fasilitas kesehatan di daerah pelosok yang belum memadai. Muhammadiyah: RUU Kesehatan Seolah Kembali ke Masa Orde Baru
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah dengan tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo menyebut RUU ini seolah mengembalikan pengaturan seperti masa Orde Baru.

"Dulu memang pernah aturan kesehatan disatukan di masa Orde Baru, tahun 92 ada UU Kesehatan. Di dalamnya ada penyatuan, yang mana saat reformasi dibuat terpisah mulai dari UU Praktik Kedokteran, UU Keperawatan, sampai 2019 paling terakhir UU Kebidanan," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Senin (8/5/2023).

Dalam ketentuan RUU Kesehatan yang terakhir disampaikan, berbagai aturan yang ada kaitannya dengan kesehatan dinyatakan tidak lagi berlaku. Hal ini pun dinilai persis model dan semangatnya dengan pengaturan di masa Orde Baru.

Muhammadiyah, ujar Trisno, sebenarnya tidak ada masalah dengan perubahan UU Kesehatan. Jika memang semangatnya ingin melakukan perbaikan, maka diubah saja sesuai dengan UU yang ada dan diperbaiki mana yang dianggap perlu.

"Metode omnibus law yang sebenarnya caranya bukan menyatukan, tapi melakukan perbaikan. Kenapa bukan itu yang dilakukan? Metodenya disebut omnibus, tetapi cenderung tidak menggunakan asas omnibus," kata dia.

Ia pun menyoroti beberapa hal yang dibahas dalam RUU Kesehatan yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan Muhammadiyah. Salah satunya perihal pendidikan, yang mana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ingin ikut mengatur sistem pendidikan dan pendidikan tinggi.

Kemenkes nantinya disebut akan memiliki core khusus untuk pendidikan. Jika dulu puncaknya berada di Kementerian Pendidikan, dalam RUU ini khususnya untuk pendidikan dokter Kemenkes pun ingin ikut mengelola.

"Ini sudah disebut tidak boleh oleh Kementerian Pendidikan dan ramai, kemudian diubah. Walaupun masih ada arahnya Kemenkes bisa masuk kesana," ucap Trisno.

Menurut Muhammadiyah, dokter spesialis yang memang pendidikannya di rumah sakit karena banyak praktik, sebaiknya berada di bawah koordinasi Kemenkes. Namun, menurut Kementerian Pendidikan semua tetap di bawah pengaturan mereka dan bekerja sama dengan rumah sakit.

Trisno menilai pendidikan spesialis harusnya tetap berada di RS Pendidikan. Di sisi lain, saat ini arah dan tujuan RS Pendidikan ini tidak jelas mau kemana dengan RUU Kesehatan, terlebih jika masih seperti model yang diserahkan oleh Kemenkes. Seolah-olah dalam RUU ini ada keinginan untuk mendominasi pendidikan.

Pun, poin lain yang disorot untuk RUU Kesehatan ini ada pada sistem jaminan kesehatan atau BPJS Kesehatan. Menjadi masalah ketika Kemenkes mencoba masuk dan melakukan pengaturan.

"Menurut kami, sebetulnya tidak boleh sistem kesehatan atau jaminan kesehatan ini dikembalikan kepada menteri. Ini dipakai UU Kesehatan, tapi ingin mengubah UU yang terkait BPJS," ucap dia.

Seharusnya, BPJS tetap menggunakan UU yang berlaku dan tidak di bawah kementerian. Tidak diperlukan perubahan karena perihal sistem jaminan kesehatan ini tidak ada hubungannya dengan Kemenkes.

Terakhir, Muhammadiyah menyoroti perihal data kesehatan yang ditulis dalam RUU Kesehatan tersebut. Dari usulan yang ada, data kesehatan disebut dimungkinkan diberikan ke luar negeri atas persetujuan menteri.

"Kami menilai hal ini bisa menjadi penyalahgunaan kondisi kesehatan di Indonesia, yang bisa jatuh ke perusahaan asing atau mereka yang perlu data kesehatan bangsa ini. Ini sebaiknya tidak diatur dan memag tidak boleh ada izin apapun untuk data milik bangsa diminta oleh asing," kata Trisno.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler