Krisis Bank di AS, Bagaimana Dampaknya ke Perbankan Syariah Nasional?

Kinerja sejumlah bank syariah nasional cukup baik.

BTPN Syariah
BTPN Syariah dorong peningkatan inklusi keuangan masyarakat prasejahtera yang berkelanjutan.
Rep: Retno Wulandhari Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Krisis perbankan di Amerika Serikat (AS) masih terus berlanjut. Setelah Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank mengalami kebangkrutan, kini giliran empat bank regional yang terjebak krisis.

Lalu bagaimana imbasnya ke perbankan syariah nasional? Financial Expert Ajaib Sekuritas Chisty Maryani mengatakan krisis perbankan AS tidak membawa dampak secara sistematis terhadap perbankan dalam negeri, termasuk bank syariah.

"Secara sistematis tidak ada, karena memang hubungan kinerja perbankan di dalam negeri dan di AS yang saat ini dikabarkan kolaps tidak ada," kata Chisty, Kamis (11/5/2023).

Meski demikian, kekhawatiran pasar yang tinggi terhadap kondisi di AS tersebut dinilai akan tetap memberikan dampak ke pasar domestik. Menurut Chisty, pergerakan saham yang tercermin dalam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan terpengaruh secara psikologis.

Sejak empat bank regional AS dikabarkan mengalami krisis pada Maret lalu, para pelaku pasar pun langsung memberikan respons negatif. Hal tersebut terlihat dari IHSG yang mengalami penurunan tajam dan sempat menyentuh level 6.500-an.

Namun, Chisty melihat dampak psikologis krisis bank regional AS terhadap penurunan IHSG hanya akan berlangsung jangka pendek. Pasalnya, krisis bank regional tersebut tidak separah SVB maupun Signature Bank dan masih dapat diantisipasi oleh pemerintah AS.

Sejauh ini, Chisty menilai kinerja sejumlah bank syariah nasional cukup baik, sebut saja PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) dan PT Bank BTPN Syariah Tbk. (BTPS). Pada kuartal pertama 2023, kedua bank syariah tersebut mampu membukukan pertumbuhan laba bersih.

BRIS mencatatkan perolehan laba bersih Rp 1,46 triliun atau tumbuh 47,65 persen secara year on year (yoy). Sedangkan BTPS membukukan laba bersih setelah pajak (NPAT) sebesar Rp 425 miliar atau tumbuh 3,4 persen secara tahunan.

Chisty mengakui pergerakan saham BRIS dan BTPS cenderung menurun akhir-akhir ini. Namun hal tersebut lebih disebabkan karena faktor teknikal. Pergerakan saham BRIS tertekan karena memang secara teknikal sudah di memontum jenuh beli.

"Sebelumnya BRIS sudah terapresiasi sejak 16 Maret, sehingga apabila ada tekanan saat ini merupakan koreksi yang wajar karena kenaikannya sudah signifikan. Masih ada potensi terkoreksi dalam jangka waktu dekat supportnya di level 1.700," jelas Chisty.

Begitu juga dengan saham BTPS. Chisty menegaskan, koreksi yang terjadi bukan karena tekanan kinerja. Chisty melihat BTPS masih berpotensi bergerak turun ke level 1.900 dari posisinya per Kamis (11/5/2023) di level 2.000.

Meski demikian, menurut Chisty, secara valuasi harga saham BTPS tergolong murah. PBV BTPS saat ini di posisi 1,72x, padahal secara historical PBV BTPS biasanya di posisi 3x sampai 4x. Artinya, harga BTPS masih undervalue.

Sementara harga saham BRIS dinilai sudah mendekati harga wajar. PBV BRIS saat ini mencapai 2,30x mendekati posisi historinya dikisaran 2,51x. "Investor sebaiknya mempertimbangkan saham lain. BTPS lebih menarik dibanding BRIS secara fundamental terutama dilihat dari rasio PBV," tutup Chisty.
Retno Wulandhari

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler