Apakah Layak Treble Winners Diberikan kepada Manchester City Musim Ini?
Mungkin hanya nasib sial yang membuat Man City gagal raih treble winners musim ini.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seharusnya Ahad (21/5/2023) malam di Stadion Etihad adalah momen menentukan dalam penobatan Manchester City sebagai juara Liga Primer Inggris. Tak disangka, status juara liga didapat lebih cepat setelah Sabtu (20/5/2023) malam, Arsenal tumbang 0-1 di tangan Nottingham Forest.
Kekalahan itu membuat Arsenal sudah tak mungkin mencegah the Citizens menjuarai Liga Primer musim ini. Man City memang sangat pantas mendapatkan trofi ini.
Man City memainkan laga yang lebih banyak ketimbang tim Inggris dan Eropa mana pun, tapi justru tampil semakin bagus ketika tirai musim hendak ditutup.
Dalam jadwal yang begitu padat karena bermain dalam empat kompetisi berbeda yang di antaranya harus menghadapi tim-tim kelas berat dalam Liga Champions, Man City tampil sangat konsisten. The Citizens hanya tersisih dari Piala Liga.
Man City tidak saja menjadi tim yang lebih menyerang dan lebih menekan dibandingkan lawan-lawannya, tetapi juga tim yang lebih produktif dan sangat sulit ditembus lawan dibandingkan lawan-lawannya.
Kini Man City menjadi tim Liga Inggris kelima yang menjuarai Liga Primer tiga musim berturut-turut. Manchester Biru juga bisa menjadi tim Inggris kedua yang menciptakan treble setelah Manchester United.
Man City memiliki pemain yang merata bagus dalam semua lini yang tak memiliki kesenjangan kualitas antara pemain inti dengan pemain cadangannya. Sampai-sampai pelatih Man City, Pep Guardiola, kesulitan menyeleksi pemain yang mesti dimainkan lebih dulu.
Guardiola sendiri adalah faktor terbesar yang membuat Man City begitu hebat dan begitu sukses sepanjang musim ini.
Pelatih sepak bola yang disebut sejumlah kalangan sebagai yang terbaik sepanjang masa itu pernah menyihir Barcelona menjadi tim yang bermain indah dan menyerang yang mendominasi La Liga Spanyol.
Atmosfer sama menakjubkan, Guardiola ciptakan di Jerman kala melatih Bayern Muenchen kendati gagal mempersembahkan trofi Liga Champions.
Kini, bersama Manchester City yang dibelanya lebih lama ketimbang Barca dan Muenchen, Guardiola mengubah tim ini menjadi kekuatan yang siap menerkam siapa pun, selain membuat penggemar sepak bola terpesona oleh kesempurnaan dan konsistensinya.
Hanya tiga klub yang merasakan sentuhan Guardiola dan ketiganya dipuaskan oleh bagaimana Guardiola mempersembahkan trofi, selain membuat pemain-pemain asuhannya mendapatkan anugerah pribadi, termasuk pemain terbaik dunia (Ballon d'Or).
Dari musim ke musim, selalu saja ada rekor yang dibuat Guardiola, mulai dari enam trofi dalam satu musim sewaktu bersama Barcelona, sampai rekor sukses mencetak 100 poin dalam satu musim bersama the Citizens.
Paling konsisten
Kini, Manchester City menyamai Everton dengan sembilan kali menjuarai Liga Inggris atau empat trofi di bawah Arsenal yang sudah 13 kali menjuarai Liga Inggris.
Manchester United dan Liverpool menjadi dua tim yang paling sering menjuarai Liga Inggris, masing-masing dengan 20 dan 19 trofi. Man United juga menjadi tim yang paling sering menjuarai liga pada era Liga Primeer, dengan 12 trofi.
Namun sejak 2012, Iblis Merah tak pernah lagi menjuarai Liga Primer. Sebaliknya, dalam kurun waktu sama, Man City menjadi tim yang paling sering juara dengan tujuh kali juara yang enam di antaranya terjadi saat diasuh Guardiola.
Boleh dikata, semakin lama Guardiola melatih Man City, maka semakin kuat dan dominan tim ini. Tak ada tim Liga Inggris yang sekonsisten dan sekuat Man City musim ini. Pun di Eropa.
Untuk itu, jika Man City sukses meraih tiga gelar (treble winners) musim ini, maka itu sudah sepantasnya.
Dibandingkan dengan juara dan calon juara lima liga elite Eropa lainnya musim ini, hanya Barcelona yang menyamai Man City dalam urusan menorehkan kemenangan dalam pertandingan liga domestik.
Kedua tim sama-sama sudah memenangkan 26 pertandingan dari rata-rata 35-36 pertandingan liga sejauh ini.
Namun dalam urusan mencetak gol, Man City tak ada duanya. The Citizens sudah memasukkan 92 gol atau tiga gol lebih banyak dari Bayern Muenchen di Bundesliga Jerman.
Kembali, hanya Barcelona yang melampaui Man City dalam perkara sulit ditembus lawan. Musim ini sejauh ini, Barca hanya kebobolan 15 gol, atau separuh dari jumlah gol lawan yang membobol gawang Man City.
Di Liga Inggris, bersama Newcastle United, the Citizens adalah tim tertangguh yang sampai pertandingan liga yang ke-36, hanya kebobolan 31 kali, sedangkan Newcastle 32 kali.
Kini, Man City memiliki segalanya untuk tidak hanya mencetak sukses dalam Liga Champions, tetapi juga treble yang semestinya tak sulit diraih mengingat lawan-lawannya pada final Liga Champions dan Piala FA adalah Inter Milan dan Manchester United yang saat ini kelasnya agak di bawah the Citizens.
Indikatornya terlihat dari statistik Liga Inggris. Man United jauh tertinggal dari Man City sampai selisih 16 poin. Man United urutan keempat, Man City pertama.
Pun dibandingkan dengan Inter Milan yang saat ini 17 poin di bawah pemuncak klasemen Serie A Liga Italia yang juga juara musim ini, Napoli.
Inter juga masih berjuang untuk bisa mengikuti Liga Champions musim depan karena masih berebut tiga jatah tersisa dengan Juventus, Lazio, dan AC Milan.
Bukan hanya itu, secara tim, komposisi skuad Man City terlalu kuat, baik untuk Manchester United maupun Inter Milan, walaupun Man United adalah satu dari lima tim yang mengalahkan Man City musim ini.
Empat tim lainnya adalah Tottenham Hotspur, Brentford dan Liverpool, serta Southampton dalam perempat final Piala Liga. Liverpool menjadi satu-satunya tim yang dua kali mengalahkan Man City, salah satunya dalam Community Shield.
Bugar, merata, berkualitas
Dari segi komposisi tim, Man City adalah tim yang mengerikan, dan adalah satu bagian paling mengesankan dari Man City musim ini adalah bugarnya seluruh anggota skuad.
Hampir tak ada pemain penting Man City yang cedera selama musim ini. Dan ini berkat Guardiola yang cerdas nan cerdik mengelola tim.
Kedalaman skuad Man City musim ini juga luar biasa merata, baik pemain inti maupun cadangan, sehingga Guardiola tak kesulitan menyusun tim terbaik.
Di sisi lain, dengan memberikan kesempatan bermain yang relatif seimbang, Guardiola mendapatkan tim yang pemain-pemainnya bugar dan sekaligus bisa tampil bagus.
Pemain-pemain seperti Julian Alvarez dan Aymeric Laporte misalnya, sudah bermain lebih dari 2.300 dan 1.700 menit, bahkan Rico Lewis telah bermain lebih dari 1.000 menit sepanjang musim ini.
Di lain pihak, gelandang-gelandang seperti Riyad Mahrez, Phil Foden, dan Jack Grealish dirotasi dengan baik sehingga melapis kekuatan tim dengan baik pula.
Ini masih ditambah Erling Haaland yang membuat lawan acap lupa bahwa bukan hanya Haaland yang berbahaya di Man City karena semua anggota skuad the Citizens berbahaya dan mampu mencetak gol.
Dengan fakta-fakta seperti itu, nasib Man City kemungkinan besar tidak akan seburuk kala takluk kepada Chelsea dalam final Liga Champions 2021. Skuad Man City kini telah belajar dari kegagalan pada musim-musim lalu.
Ini ditambah pengalaman Guardiola dalam memimpin kompetisi Liga Champions yang membuatnya tahu apa yang harus dilakukan agar Man City menang dan tahu apa yang diperlukan agar pengalaman buruk di masa lalu tidak terulang.
Guardiola adalah pelatih ketiga di Eropa yang paling sering memimpin tim dalam Liga Champions. Dia hanya kalah dari Alex Ferguson dan Carlo Ancelotti.
Ferguson memainkan 190 pertandingan Liga Champions yang 102 di antaranya dia menangkan, sedangkan Ancelotti memainkan 188 laga yang 107 di antaranya dimenangkan.
Guardiola menempati posisi ketiga dengan 157 laga yang 99 di antaranya menang. Namun, Guardiola memiliki efektivitas kemenangan tertinggi, sebesar 64 persen.
Tak heran jika kemudian Man City bisa melibas lawan-lawannya, termasuk raksasa-raksasa seperti Bayern Muenchen dan Real Madrid dalam perjalanan menuju final di Istanbul, Turki, bulan depan.
Hanya nasib sial yang membuat Man City gagal menjadi tim Inggris keenam yang menjuarai Liga Champions/Piala Eropa setelah Liverpool, Manchester United, Nottingham Forest, Chelsea, dan Aston Villa.
Sebaliknya, treble bagi Manchester City dan gelar juara Liga Champions ketiga dalam karier kepelatihan Guardiola, bukan saja kepantasan, tapi rasanya juga demi keadilan.