Modus 'Pengajian Seks', Dua Pimpinan Ponpes Diduga Perkosa 41 Santriwati di NTB
Terduga pelaku melakukan persetubuhan dengan korban yang berusia 16-17 tahun.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dua pimpinan pondok pesantren (Ponpes) di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat ditangkap atas dugaan kekerasan seksual terhadap 41 santriwati. Keduanya, yakni LMI (43 tahun) dan HSN (50) yang merupakan pimpinan ponpes.
Kedua pelaku diduga telah melakukan kekerasan seksual terhadap 41 santri dalam rentang waktu hingga tahun 2023. Tiga orang korban telah membuat laporan polisi atas perbuatan bejat kedua pimpinan ponpes.
"Saat ini, pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polres Lombok Timur," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar dalam keterangannya, Kamis (25/5/2023).
Nahar menegaskan kasus ini terjadi dengan modus diantaranya “janji masuk surga” melalui “pengajian seks”. Tindakan ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan yang tidak dapat ditolerir dan patut dihukum berat. Terduga pelaku dengan keji melakukan kekerasan seksual persetubuhan dengan korban yang berusia 16-17 tahun.
“Terduga pelaku adalah pendidik di bidang keagamaan, tidak hanya melindungi anak tapi juga seharusnya menuntun anak pada perbuatan yang baik dan benar. Dalam kasus ini terduga pelaku justru melanggarnya dengan melakukan tindak pidana kekerasan seksual kepada anak didiknya," ujar Nahar.
Pelaku terancam hukuman maksimal berupa pidana mati, seumur hidup, dan/atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Nahar berharap penegakan hukum kasus ini juga dapat menggunakan UU No 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Ini agar hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan dapat diberikan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi atau ganti rugi sebagai korban kekerasan seksual," ujar Nahar.
Selain itu, Nahar berharap kepolisian dapat terus mendalami kasus ini, termasuk dapat membuka layanan pengaduan bersama. Hal ini untuk mengantisipasi masih ada korban lainnya yang belum berani lapor karena berbagai alasan.
"Kami terus memantau upaya penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban TPKS ini," sebut Nahar.