Logo IKN Pohon Hayat dan Kalpataru (Bagian 1)
Kita semuanya berharap logo Pohon Hayat ini akan menginspirasi IKN untuk menciptakan tempat kehidupan baru bagi kita semuanya.
KAKI BUKIT – Presiden Joko Widodo telah resmi meluncurkan logo Ibu Kota Nusantara (IKN) di Istana Negara Jakarta, Selasa (30/5/2023). Logo yang akan menjadi identitas visual bagi IKN tersebut memiliki tema Pohon Hayat dengan sejumlah makna di dalamnya.
“Pohon Hayat ini adalah pohon kehidupan dan kita semuanya berharap logo Pohon Hayat ini akan menginspirasi IKN untuk menciptakan tempat kehidupan baru bagi kita semuanya, yang menjadi sumber kehidupan bagi seluruh masyarakat Indonesia nantinya,” kata Presiden.
Presiden juga menjelaskan bahwa logo bertema Pohon Hayat memiliki filosofi yang sejalan dengan semangat pembangunan IKN, menumbuhkan rasa bangga dengan jati diri bangsa Indonesia sebagai negara dan bangsa yang besar serta majemuk. Selain itu, logo bertema Pohon Hayat juga dinilai dapat menggugah kesadaran masyarakat untuk menjaga alam dan lingkungan beserta ekosistemnya.
Apa itu “Pohon Hayat”?
Menurut I Made Bendi Yudha dari ISI Denpasar, pohon hayat adalah pohon kalpataru. Kalpataru memiliki arti khusus dalam mitologi masyarakat Indonesia. Ia dianggap sebagai pohon kehidupan, karena kerimbunan dan keteduhannya menjadi tempat berlindung berbagai jenis satwa.
IKAP Yoga & BT Yuwono menjelaskan dalam, “Penciptaan bilah keris Dhapur Bethok Wulung bermotif Kalpataru Tinatah Emas,” (2019), “Dalam berbagai hasil penelitian mengenai motif relief pada bangunan-bangunan suci di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, kalpataru kerap disandingkan dengan istilah pohon hayat atau tree of life, istilah tersebut digunakan untuk merujuk pada motif (berupa pohon) dalam karya seni trimatra yang merupakan simbol harapan dan keinginan manusia dalam mitologi Hindu-Buddha.
“Namun, kalpataru tidak hanya lekat dengan bangunan suci periode Hindu-Buddha karena dalam budaya pewayangan yang berkembang hingga masa Islam, kalpataru kemudian bertansformasi menjadi gunungan yang memiliki filosofi penting dalam dunia pewayangan,” tulis Muhajirin, dalam “Dari Pohon Hayat Sampai Gunungan Wayang Kulit Purwa (Sebuah Fenomena Transformasi Budaya),” (2010).
Pohon kehidupan atau pohon hayat tersebut memiliki banyak nama sesuai dengan zaman dan daerahnya, seperti pohon Ara di Lampung/Sumatra pada umumnya; Kalpataru pada masyarakat Jawa kuno; kayon/kayonan di Bali; Kaharingan pada masyarakat Dayak di Kalimantan; dan gunungan atau kayon dalam dunia pewayangan masyarakat Jawa. Pohon hayat adalah lambang kehidupan manusia beserta seluruh kebudayaannya yang senantiasa berkembang sejak manusia dilahirkan sampai akhir hayatnya.
Patut diakui Kalpataru memiliki kaitan dengan nilai-nilai tradisi masyarakat Indonesia, setidaknya terlihat pada banyaknya relief Kalpataru menghiasi dinding sejumlah candi di Indonesia.
Ada juga yang menganggap bahwa kalpataru juga sebagai pohon ajaib yang fungsinya sebagai saksi perkawinan atau kematian, mati dalam hal ini diartikan sebagai gugur status kegadisannya atau gugur status jejakanya karena keduanya sudah diikat dalam satu perkawinan dan sudah meningkat kedewasaannya.
Menurut Akhmad Nizam dalam bukunya “Transformasi Bentuk dan Makna Ragam Hias Indonesia,” (2013), kalpataru sebagai pohon ajaib yang dapat mengabulkan segala permohonan.
Sementara itu dalam tradisi Jawa, Kalpataru dalam kaitannya dengan ritual perkawinan juga disebut dengan Kembang Mayang, Megar Mayang atau Gagar Mayang masing-masing mengandung makna yang dalam. Maksudnya adalah suami istri itu wajib mengusahakan papan perlindungan dan tempat yang menyenangkan di dalam membina rumah tangga. Ada keyakinan lainnya menyatakan, kalpataru atau pohon keben sebagai pohon kehidupan, keberadaannya saat ini sudah sangat langka.
Pada kesenian Kalpataru merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada salah satu jenis motif pahatan yang kerap ditemui dalam beberapa karya seni trimatra di Pulau Jawa.
Menurut Vita Sabrina Azda Lailia dan kawan-kawan dalam “Kosmologi Kalpataru: Representasi Kehidupan dan Pengharapan Masyarakat Jawa di Abad 9-16 Masehi,” (2022), seni trimatra di Jawa merupakan gambaran kepercayaan dan kearifan lokal serta bentuk implementasi kearifan lokal masyarakat pembuatnya.
Fenomena penggunaan istilah kalpataru ini merupakan suatu hal yang unik. Hal tersebut karena umumnya kalpataru lekat dengan pola hidup serta pengrahapan masyarakat Jawa, sebab karya seni trimatra yang disepakati untuk disebut dengan istilah kalpataru, merupakan karya yang menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat lampau, baik kondisi lingkungan alam hingga sosial.
Pada tahun 1980 Pemerintah melalui Pemerintah Indonesia melalui Menteri Negara Lingkungan Hidup menggunakan istilah Kalpataru untuk memberikan penghargaan kepada meraka yang berjasa dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Apa itu Penghargaan Kalpataru? Jawabannya ada pada bagian kedua tulisan ini. (maspril aries)