Indonesia Berpeluang Penuhi Kebutuhan Minyak Nabati Dunia pada 2050
Indonesia berkontribusi 22 persen dari total minyak nabati dunia pada saat ini.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produk sawit Indonesia dinilai memiliki peluang untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan minyak nabati dunia yang diperkirakan mencapai 307,9 juta ton pada 2050. Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Farid Amir mengatakan, saat ini Indonesia telah berkontribusi 22 persen dari total produksi minyak nabati dunia dan 60 persen lebih dari produksi minyak sawit dunia.
"Indonesia harus bangga menjadi produsen terbesar dengan total produksi 46,88 juta ton pada 2021, dari produksi minyak sawit dunia mencapai 75,5 juta ton," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Menurut dia, beragam keunggulan minyak sawit harus dimaksimalkan pengembangannya agar semakin kompetitif dibandingkan minyak nabati nonsawit.
Tingginya produksi sawit, dia melanjutkan, memperkuat dukungan terhadap kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang mana pada 2022 senilai 275,96 miliar dolar AS dengan kontribusi CPO dan produk turunannya sebesar 15 persen atau senilai 41,32 miliar dolar AS.
Dari catatan Kemendag RI, tren peningkatan nilai ekspor CPO dan produk turunannya selama lima tahun terakhir adalah sebesar 20 persen. Sementara, nilai ekspor CPO dan produk turunan Indonesia sebesar 41,32 miliar dolar AS pada 2022 dan volume ekspor berjumlah 35,52 juta ton.
Meski demikian, Farid mengakui ekspor sawit Indonesia menghadapi tantangan dan hambatan berat di negara tujuan ekspor salah satunya saat ini, yakni di Uni Eropa dengan hadirnya Undang-Undang Uni Eropa tentang Deforestasi atau EUDR
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan mengatakan EUDR menjadi regulasi yang membuat perubahan signifikan perdagangan ekspor sawit Indonesia di Uni Eropa setelah sebelumnya ada hambatan melalui RED II yang menghambat konsumsi sawit untuk sektor biofuel.
"Tetapi, dengan adanya EUDR ini, bukan hanya sektor energi yang dihambat, melainkan juga sektor pangan. Jadi, EUDR ini sangat luas dampaknya kepada sektor food, energi, dan industri," katanya.
Sebelum EUDR diberlakukan, tambahnya, ekspor dari Indonesia dan Malaysia turun signifikan ke Uni Eropa semenjak 2017. Indonesia pernah mengekspor produk sawit 5,5 juta ton, namun turun menjadi 3,7 juta ton pada 2022 padahal, konsumsi minyak nabati di Uni Eropa tumbuh 4,3 persen.
"Ini terjadi setelah adanya hambatan kepada sawit. Restriksi perdagangan terjadi akibat adanya persaingan dengan minyak nabati lain," ujarnya
Terkait hal itu, menurut Kepala Divisi UKMK Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Helmi Muhansyah, sebagai antisipasi hambatan dagang terhadap produk kelapa sawit, pemerintah telah meningkatkan konsumsi sawit di dalam negeri melalui serangkaian kebijakan seperti biodiesel dan produk minyak merah.
Menurut dia, BPDPKS berupaya memberikan dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat salah satunya melalui pemberdayaan kemitraan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi (UKMK). "Kami melakukan promosi untuk meningkatkan imej produk kelapa sawit dan memperluas pasar kelapa sawit," katanya dalam kegiatan "Promosi Sawit Sehat" yang digelar BPDPKS .
Selain itu, kata dia, program riset sawit yang dibiayai BPDPKS juga diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pelaku UKMK.