Miris Remaja Bunuh ODGJ di Banten, Mengapa Usia Belia 'Berani' Membunuh?
Dua dari empat tersangka pembunuhan masih duduk di bangku kelas 6 SD.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus tewasnya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kampung Bayah Tugu, Desa Bayah Barat, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, membuat publik gempar. Korban ditemukan tewas mengenaskan dengan tangan dan kaki terikat pada Rabu (14/6/2023).
Dari penyelidikan polisi, diketahui bahwa pelakunya adalah empat remaja berusia 13 hingga 15 tahun. Dua di antaranya masih kelas enam SD. Mereka bekerja sama mengikat dan menganiaya korban selama beberapa hari hingga akhirnya nyawa korban melayang.
Sebelumnya, pada Januari 2023, dua remaja berusia 14 tahun dan 17 tahun di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, membunuh bocah lelaki 11 tahun dengan motif ingin menjual organ tubuhnya. Pada Maret 2023, seorang remaja lelaki berusia 17 tahun juga diamankan di Kota Padang karena membunuh seorang siswi SMP yang merupakan pacarnya.
Bagaimana remaja bisa melakukan perbuatan keji seperti penganiayaan dan pembunuhan? Menurut psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Koentjoro, ada banyak motif yang bisa melatarbelakangi sejumlah kejadian memprihatinkan tersebut.
Seiring dengan era kemajuan media sosial di zaman sekarang, ada sejumlah kasus penganiayaan dengan tujuan dibuat konten untuk menjadi viral. Koentjoro mengaku ngeri dan menyebut sangat mencemaskan jika tujuan di balik aksi penganiayaan adalah mencari popularitas.
"Atau, ada tujuan-tujuan lain yang bisa juga mendasarinya. Misalnya, ingin kelihatan superior atau ada masalah lainnya yang di luar ekspektasi," ujar Koentjoro kepada Republika.co.id, Selasa (20/6/2023).
Perilaku mengeroyok ...
Terkait kasus penganiayaan dan pembunuhan ODGJ di Lebak, Koentjoro menyoroti adanya perilaku mengeroyok. Dia menyebutnya sebagai bagian dari konformitas, yakni kesetiaan atau kepatuhan terhadap norma kelompok. Dalam kasus itu, berlaku konsep sugesti mayoritas.
Artinya, siapa pun dalam kelompok yang dianggap sebagai pemimpin, maka perintahnya akan diakui. Meski pun, perintah itu bisa jadi di luar nalar seperti perintah untuk mengeroyok, menganiaya, atau menyakiti orang lain tanpa dasar yang jelas.
Terlebih, para pelaku kasus pembunuhan ODGJ di Lebak masih ada di usia SD dan SMP. Remaja pada rentang umur itu disebut Koentjoro baru keluar dari norma aturan keluarga. Alhasil, kebutuhan untuk tergabung dalam kelompok atau berserikat dengan usia sebaya cukup besar.
"Ketika diperintah, akan menurut saja, karena ingin dianggap in group, diakui sebagai bagian dari kelompok, dan dianggap sudah dewasa," kata Koentjoro yang merupakan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM.