Sejarah Pemikiran Islam Imam Al-Syatibi
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam mengacu pada warisan intelektual dan konseptual yang telah dikembangkan oleh para cendekiawan Muslim dalam menggambarkan prinsip ekonomi yang berlandaskan prinsip Islam.
Pendahuluan
Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam tradisi pemikiran Intelektual muslim, khususnya dalam tradisi pemikir Islam klasik, dalam masa kejayaan umat Islam. Sejak zaman Nabi, pemikiran tentan ekonomi islam ini muncul sebagai tradisi intelektual, meskipun sesuai pada konteks zaman dan tantangan kehidupan yang berkembang saat itu. Dibandingkan dengan bidang lain, pemikiran ekonomi Islam tidak semarak demikian dengan pemikiran lain seperti tasawuf, kalam, fiqh, tafsir, hadits dan lainnya. Bahkan dibandingkan dengan pemikiran politik Islam “baru” dalam tradisi intelektual Islam, pemikiran ekonomi Islam lebih rendah atau masih dibawahnya lagi. Namun, seperti dijelaskan di atas, tidak berarti pemikiran ekonomi Islam tidak dikenal dalam tradisi spiritual para pemikir Muslim ulama dan filosof Islam mengkaji pemikiran mereka tentang ekonomi Islam dalam berbagai tulisan, baik ditulis khusus untuk mengulas ekonomi Islam serta beberapa temuan penelitian dibidang lainnya.Kebanyakan mereka menuangkan pemikirannya tentang ekonomi bersama dengan pemikiran lain, khususnya hukum Islam.
Pembahasan
Para ulama merumuskan maqashid syari’ah (tujuan syariah) untuk mewujudkan kemaslahatan. Imam Al-Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi dan sejumlah ilmuwan Islam mereka telah sepakat tentang hal tersebut. Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung kemanfaatan, kegunaan, kebaikan dan menghindarkan mudharat, dan kerusakan. Maslahah mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. maslahah dalam pemenuhan kebutuhan manusia dalam Islam menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas. Sebab dalam kebutuhan tertentu misalnya makan dan minum manakala perut sudah merasa kenyang maka dia sudah merasa puas karena kebutuhannya itu sudah terpenuhi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebutuhan manusia bersifat terbatas seperti yang dijelaskan dalam konsep law of diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang dikonsumsi maka pada titik tertentu justru bisa menyebabkan tambahan kepuasan dari setiap tambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin berkurang. Jadi ada kesenjangan pemikiran yang menimbulkan kekacauan persepsi antara pengertian kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Apabila perilaku manusia disandarkan pada keinginan (wants), maka persoalan ekonomi tidak akan pernah selesai karena nafsu manusia selalu merasa tidak akan pernah puas.
Jika dikaitkan dengan konsep maqhasid Al-Syari‟ah, dalam pandangan Islam, motovasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi itu untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang individu akan terdorong untuk berprilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikologis.
Menurut Maslow, apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia berpendapat bahwa garis hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari:
1. Kebutuhan fisiolagi (fisiological needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan menyampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.
2. Kebutuhan keamanan (safety needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik serta krisis ekonomi.
3. Kebutuhan sosial (social needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih sayang. Jika tidak terpenuhi kebutuhan ini bisa mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
4. Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), mencakup kebutuhan terhadap penghornatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan mempengaruhi rasa percaya diri.
5. Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs), mencakup kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini merupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi. Tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh maslow sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqhasid Syari’ah bahkan, konsep yang telah dikemukakan oleh Al-Syatibi mempunyai keunggulan yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam kebutuhan dasar manusia. Seperti yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia.
A. Konsep Antara Utility dan Maslahah
Phiplip Kotler mengistilahkan utility yaitu perasaan senang atau kecewa yang dirasakan seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja (hasil) suatu produk dan harapannya. Sedangkan konsep kepuasan dalam ekonomi syariah berdasarakan pemikiran Imam Asy-Syatibi yang diistilahkan dengan maslahah adalah sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal sehat mengandung arti mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut jalb almanafi’ (membawa manfaat) dan menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut dar’u almafasid. Menurut Imam Asy-Syatibi istilah maslahah maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah yaitu kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia dimuka bumi ini bukan hanya sekedar penilaian terhadap barang dan jasa secara materialis tetapi juga menilai sisi spiritual.
Pandangan imam al-syatibi dalam bidang ekonomi
1. Objek kepemilikan
Pada dasarnya, Asy-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan atas sumber daya apapun yang dapat mempengaruhi kehidupan banyak orang. Contoh air, baik itu air yang ada di sungai Maupun di laut, air adalah anugerah Ilahi kepada semua mahluk. Jadi setiap individu tidak boleh mengklaim bahwa air tersebut adalah milik pribadi. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sungai, sedangkan air yang dapat dijadikan sebagi objek kepemilikan itu seperti air yang dibeli. Oleh karena itu, menimbang kepemilikan merupakan hal yang wajar bagi manusia tuhan telah memberi manusia kekuatan untuk memiliki apapun yang ada di bumi, tetapi dengan catatan bahwa orang harus selalu menyadari keadaan yang hanya diberi, ia harus tunduk kepada pemberi. Kepatuhan ini harus dipahami sejak manusia menyelesaikan proses kepemilikan. Semuanya harus sesuai menurut Syariah, yang merupakan ekspresi dari kehendak Allah. Jadi bahwa Islam mengesahkan kepemilikan yang dimulai dengan proses yang legal, dan sebaliknya, Islam mengutuk atau mengencam praktik investasi yang melanggar aturan, terutama ketika merugikan masyarakat. Jika kerugian ini terjadi pada masyarakat, maka si pemilik berati tidak menghiraukan masyarakat yang sebenarnya mempunyai hak dalam kepemilikan individu. Pada prinsipnya, Islam tidak mengakui semua hak milik yang timbul dari kebiasaan yang menyimpang. Namun pada dasarnya Imam al-syatibi mengakui hak milik individu jika kepemilikan dapat menghapus atau mencegah kepemimpinan orang lain terhadap semua sumber daya yang pada dasarnya itu adalah milik umum, artinya ketika benda tersebut yang semula adalah milik bersama “pemberian Allah terhadap orang banyak” dengan Imam al-syatibi memangkas kepemilikan individu tersebut terhadap benda yang ditujukan oleh Allah kepada semua makhluk.
2. Pajak
Menurut Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari perspektif maslahah (kebaikan bersama). Mengutip pendapat para pendahulunya seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra, beliau menyatakan bahwa melindungi kebaikan bersama pada dasarnya adalah tanggung jawab masyarakat. Jika dia tidak dapat memikul tanggung jawab ini, pemerintah kota dapat melimpahkannya ke Baitul Mal dan menyumbangkan sebagian dari hartanya untuk tujuan ini. Oleh karena itu, suatu pemerintah dapat mengenakan pajak baru kepada rakyatnya, meskipun pajak ini tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam.
kesimpulan
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebutuhan manusia bersifat terbatas seperti yang dijelaskan dalam konsep law of diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang dikonsumsi maka pada titik tertentu justru bisa menyebabkan tambahan kepuasan dari setiap tambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin berkurang. tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh maslow diatas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqhasid Syari’ah. Sedangkan konsep kepuasan dalam ekonomi syariah berdasarakan pemikiran Imam Asy-Syatibi yang diistilahkan dengan maslahah adalah sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. diterima akal sehat mengandung arti mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut jalb almanafi’ (membawa manfaat) dan menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut dar’u almafasid. Jadi bahwa Islam mengesahkan kepemilikan yang dimulai dengan proses yang legal, dan sebaliknya, Islam mengutuk atau mengencam praktik investasi yang melanggar aturan, terutama ketika merugikan masyarakat. sedangkan pandangan imam al-syatibi dalam bidang ekonomi itu ada 2 yaitu objek kepemilikan dan pajak.