Undang-Undang Bakal Hambat Ekspor Sawit dari Pekebun Kecil

Korporasi sawit umumnya tak begitu berdampak terhadap kebijakan EUDR.

republika/joko sadewo
Perkebunan sawit PT Sumber Sawitmas Sarana (SSMS) .
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia terus melobi Eropa ihwal Undang-Undang Anti Deforestasi (EUDR) yang dapat menjegal ekspor sawit ke benua biru. Sementara itu, pengusaha sawit menilai, dampak EUDR tak begitu dirasakan oleh korporasi, sebaliknya pengusaha skala mikro dan kecil bakal yang menjadi pihak paling terdampak.

Kepala Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman, menuturkan, Indonesia bersama Malaysia melalui Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC)  telah melakukan join mission ke Eropa untuk mempertahankan pasar sawit Eropa pada 30-31 Mei 2023.

Misi yang dijalankan itu menyasar masyarakat Eropa hingga parlemen untuk meluruskan pandangan negatif terhadap sawit yang disebut menyebabkan deforestasi hutan besar-besaran.

“Kami terlibat aktif bersama CPOPC. Saat kita berdialog dengan masyarakat Eropa, banyak member parlemen dan komisioner, ini berdampak positif,” kata Eddy dalam CNBC Indonesia Special Dialogue, Senin (26/6/2023).

Eddy mengungkapkan, pekan lalu pemerintah telah menerima kedatangan delegasi Eropa  untuk memberikan tanggapan mengenai sejumlah hal yang disampaikan Indonesia dan Malaysia dalam join mission bulan lalu.

“Dan, kurang lebih bylan depan akan datang delegasi Eropa (untuk membahas) yang menyangkut masalah lingkungan. Pada dasarnya kita ingin ada perlakuan (khusus) EUDR ke Indonesia dan Malaysia sebagai the biggest produces menjadi perhatian,” kata dia.

Ketua Umum Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, mengatakan, korporasi sawit umumnya tak begitu berdampak terhadap kebijakan EUDR. Pasalnya, EUDR melarang produk sawit yang ditanam di atas tahun 2020, sementara perusahaan besar umumnya tak menambah luasan sejak 2019 lalu saat moratorium sawit diterapkan.

Nah, yang menjadi masalah ini untuk masyarakat (pekebun),” kata Eddy.

Pasalnya, hal itu bisa berdampak pada fasilitasi kebun masyarakat seluas 20 persen yang diwajibkan kepada perusahaan yang belum mempunyai petani plasma. Di sisi lain, masyarakat pekebun yang akan memperluas kebun pun jadi tak bisa langsung melakukan penanaman perluasan lantaran bergantung pada pasar ekspor eropa.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler