Belajar dari Kasus Siswa Bakar Sekolah, Orang Tua Harus Didik Anak Berani Speak Up

FSGI mendorong guru BK deteksi dini masalah psikis siswa di sekolah

Republika/Putra M. Akbar
Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan, orang tua harus mendidik anak-anaknya untuk berani bicara terus terang jika mengalami kekerasan dari teman sebaya.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan, orang tua harus mendidik anak-anaknya untuk berani bicara terus terang jika mengalami kekerasan dari teman sebaya di sekolahnya. Didikan dari orang tua seperti itu diperlukan sebab kebanyakan korban kekerasan maupun perundungan memilih diam, yang membuat mereka terus-menerus menerima perlakuan itu.

Baca Juga


“Orang tua harus mendidik anak-anaknya untuk berani speak up jika mengalami kekerasan dari teman sebaya di sekolahnya. Karena banyak korban kekerasan memilih diam, hal ini membuat pelaku kekerasan terus melakukan kekerasan terhadap korban bahkan bisa jadi semakin ditingkatkan bentuk kekerasannya,” ujar Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, kepada Republika, Ahas (2/6/2023).

Dia menjelaskan, pencegahan tindak kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan kolaborasi antara sekolah dengan orang tua peserta didik. Retno menerangkan, dalam pengasuhan anak, orang tua harus melakukan pengasuhan yang positif tanpa kekerasan. Sebab, ketika anak diasuh dengan kekerasan, maka dia berpotensi kuat melakukan kekerasan juga ke teman sebayanya.

“Sebagai bentuk pelampiasan rasa marah dan tersakiti saat mendapatkan kekerasan dari keluarganya,” terang mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia itu.

Retno mengatakan, FSGI mendorong guru bimbingan konseling (BK) di sekolah dapat mendeteksi sejak dini anak-anak yang berpotensi mengalami masalah psikis akibat perundungan yang dialaminya. Sekolah pun perlu melaksanakan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.

Retno mengatakan, jika sekolah menerapkan ketentuan dalam peraturan tersebut, maka kekerasan di satuan pendidikan semestinya dapat dicegah. Di mana, perlu dibentuk satuan tugas anti kekerasan yang terdiri dari perwakilan guru, siswa, dan orang tua. Lalu, perlu pula membuat sistem pengaduan yang melindungi korban dan saksi.

Dalam upaya penanganan kasus perundungan pun harus melibatkan lembaga psikolog maupun psikolog dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Hal tersebut diperlukan sebagai upaya pemulihan korban dan pelaku kekerasan agar tidak mengulangi perbuatan yang sama di kemudian hari.

“Sayangnya pembentukan satgas dan sistem pengaduan yang diamanatkan oleh Permendikbud 82 Tahun 2015 belum banyak diimplementasikan di sekolah-sekolah,” jelas dia.

Semua itu dia sampaikan dalam merespons kasus seorang peserta didik berinisal R (13 tahun) di Temanggung, Jawa Tengah, yang melakukan pembakaran sekolah. Di mana, R melakukannya dengan motif sakit hati karena mengalami perundungan secara terus-menerus oleh kawan-kawannya, bahkan juga guru prakarnya.

Dalam keterangannya, R mengaku pernah mengadu ke pihak sekolah atas pengeroyokan yang dialaminya, tapi pihak sekolah hanya memanggil para pelaku pengeroyokan dan tidak memberikan sanksi apapun. Hal itu, kata Retno, membuat para pelaku tidak mendapatkan efek jera dan akibatnya tidak berhenti melakukan perundungan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler