Ali Sastroamidjojo, Banteng Sejatinya Bung Karno
Mengenang Bung Ali Sastroamidjojo
Bagi anda yang mungkin asing dengan Sosok dari salah satu Tokoh Penggagas Konferensi Asia-Afrika di Tahun 1955 akan bertanya tanya, Siapakah Ali Sastroamidjojo? Bagaimana peranan Ali Sastroamidjojo bagi Indonesia? Benarkah akhirnya ia disingkirkan?
Ali Sastromadjojo adalah seorang tokoh besar. Sepak terjangnya benar-benar luar biasa. Saya akan mengulas profil Banteng Marhaenis asal Magelang ini.
Ali Sastromadjojo adalah orang terkuat di PNI, setelah Sartono, Suwirjo, Dan Sudiro Deklarator PNI pada 1946, dan Bung Karno Pendirinya tahun 1927. Dia lebih dari sekedar pemimpin politik, namun juga sosok yang visioner. Kecapakannya bukan hanya membuat PNI menjadi partai terbesar, tapi melambungkan Indonesia di mata dunia.
Bersama dengan M. Hatta, Nazir Pamuntjak dan Abdul Madjid, empat sekawan ini dikenal sebagai pencari gara-gara oleh Rezim Kolonial Amsterdam-Den Haag.
Nama Ali Sastroamidjojo kurang populer dibanding Hatta, Sjahrir ataupun Suharto. Tapi sejatinya, negeri ini wajib berterima kasih pada beliau. Pria kelahiran Magelang, 21 Mei 1903 itu adalah Perdana Menteri Indonesia Dan Wakil Ketua MPRS sekaligus tokoh penting di balik terselenggaranya Konferensi Asia Afrika 1955.
Jejak Emas Banteng Marhaenis Magelang
Semasa kecil, Ali sudah tertarik pada politik dan dunia pergerakan. Ia bergabung dengan berbagai organisasi. Pada masa sekolah, ia sudah aktif di Jong Java dan Perhimpunan Indonesia.
Ali memang adalah salah satu dari sekian banyak generasi muda Indonesia yang mencicipi kesempatan kuliah di Belanda. Namun alih-alih hanya fokus belajar dan lulus menjadi sarjana, Ali aktif membangun pergerakan. Bersama dengan M. Hatta, Nazir Pamuntjak dan Abdul Madjid, empat sekawan ini dikenal sebagai pencari gara-gara. Ali akhirnya ditangkap dan disidang. Beruntung ia bisa bebas.
Seketika kembali ke tanah air, Ali membuka praktek hukum. Lalu ia juga bergabung dengan PNI, partai yang didirikan Bung Karno. Sejak saat itu, karakter nasionalis Ali tampak. Ia terus mengikuti kawan-kawannya sesama kaum Nasionalis untuk bergerak menuntut kemerdekaan Indonesia.
Ketika PNI dibubarkan, Ali kemudian bergabung ke Partindo. Lalu ketika partai itu juga harus bubar, Ali bergabung ke Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia).
Kelak pengalamannya ikut berbagai organisasi itu membantunya dalam membangun PNI / Front Marhaenis menjadi partai terkuat di Indonesia.
Berbagai Tugas Negara
Selain aktif di dunia politik, karir Ali di pemerintahan juga cemerlang. Ia pernah dipercaya menjadi Wakil Walikota Madiun. Ia juga terpilih sebagai Anggota Dewan Kotapraja mewakili organisasi Gerindo. Bahkan pada saat pendudukan Jepang, ia juga dipercaya sebagai salah satu pejabat tinggi yang mengurusi masalah bagian umum.
Tak terhitung banyaknya jabatan pemerintahan yang pernah ia emban. Di masa awal kemerdekaan, tepatnya ketika Kabinet Amir Syarifuddin, ia menjadi Menteri Pengajaran (sekarang Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan). Ketika itu ia menyusun undang-undang pengajaran yang terhitung progresif di jamannya.
Ia juga pernah menjadi Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan hingga Perdana Menteri dua periode.
Selain itu ia juga pernah menduduki jabatan Wakil Ketua MPRS pada Kabinet kerja III, IV dan Dwikora I dan II.
Di dunia Internasional, namanya juga sangat dikenal. Ia adalah Utusan Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar, Duta Besar Amerika Serikat, Kanada dan Mexico. Tetapi yang paling gemilang, ia adalah Pengagas Konferensi Asia-Afrika bersama 4 Tokoh Lainnya seperti PM Sir John Kotelawala (Srilanka), PM Muhammad Ali Jinnah (Pakistan), PM Jawaharlal Nehru (India) dan PM U Nu (Burma/Myanmar), sebuah konferensi yang menandai munculnya Asia Afrika yang tadinya adalah benua dengan negara-negara terjajah dan miskin menjadi lebih solid dan maju.
Banteng Sejati
Walau PNI berhasil memenangkan Pemilu 1955, namun banyak prahara yang menimpa partai tersebut. Mulai dari keluarnya beberapa tokoh penting dan membentuk Partindo di bawah Asmara Hadi tanggal 5 Agustus 1958, hingga turunnya pamor PNI di mata rakyat Pada Pemilu DPRD Pertama di Indonesia Tahun 1957-1958.
Paska 1955 hingga 1960, justru PKI yang melambung. Berbagai program dan agitasi PKI terasa begitu mengena di hati rakyat. Kekuatan PKI pun makin membesar. Hingga akhirnya Ali terpilih menjadi Ketua PNI pada kongres Solo bersama Ir. Surachman Aktivis PETANI (Persatuan Tani Nasional Indonesia), Underbouw PNI/Front Marhaenis. Setelah itu bandul PNI bergerak ke arah kiri, menjadi partai nasionalis kiri progresif. PNI dibawah Duet Ali Dan Surachman mulai sedikit demi sedikit imbangi Kekuatan PKI dibawah.
Ada banyak hal yang dilakukan Ali pada PNI. Semua itu membuat citra dan kekuatan PNI meningkat pesat. Adapun beberapa kebijakan semasa Ali menjadi Ketua antara lain ;
- Membuka jalan bagi para kader muda untuk duduk dalam kepengurusan partai.
- Menjalin komunikasi yang sangat baik dengan organ sayap partai seperti GMNI dan Pemuda Demokrat Indonesia. (Sebagai Catatan, Kala Itu GmnI dan Pemuda Demokrat Indonesia masih menjadi Underbouw Atau Ormas Sayap PNI/Front Marhaenis)
- Memperkuat basis partai di daerah.
- Mencetuskan Deklarasi Mahaenis pada 1964 di Lembang dan menyatakan bahwasannya Marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasi di Indonesia.
- Memperkuat basis ekonomi Partai.
- Menyelenggarakan perayaan HUT PNI besar-besaran di Senayan pada Juli 1965. Walau merupakan seorang orang dekat dan loyalis Bung Karno, Ali juga tak segan berdebat dengan Bapak Marhaenisme tersebut. Ini merupakan karakter Ali yang tegas dan lugas, walau tetap loyal. Perdebatan sengit tersebut antara lain ketika Bung Karno meminta Ali memasukkan PKI ke dalam kabinet setelah Pemilu 1955. Ali bersikukuh menolak karena khawatir NU dan Masyumi akan keluar dari formasi koalisi kabinet. Ali memang terkenal disegani baik kawan sesama PNI maupun tokoh dari partai yang lain. Kebetulan pada waktu itu, hampir semua partai menolak kehadiran PKI di kabinet. Selain itu Ali juga pernah berdebat seputar kebijakan Bung Karno melibatkan pelacur untuk memperkuat perjuangan revolusioner PNI. Keakraban Ali dan Bung Karno memang tiada duanya.
PNI Ali-SUrachman
Pada awal 1966, Pasca G30S adalah pintu bagi penderitaan PNI. Orde Baru makin kuat dan gerakan-gerakan anti Sukarno makin menunjukkan tajinya.
Jika tadinya sasaran mereka adalah PKI dan ormas-ormasnya, namun kemudian aksi itu meluas juga kepada kekuatan-kekuatan revolusioner yang mendukung Bung Karno. PNI kemudian menjadi sasaran utamanya.
Untuk memuluskan niat itu, orde baru diduga memecah dan mengkristalkan konflik internal di PNI. Kepemimpinan Ali dan sekjenya, Surahman, digoyang. Mereka berhadapan dengan Osa dan Usep.
PNI pun akhirnya mengalami dualisme. PNI nasionalis kiri dibawah Ali dan Surahman, serta PNI Sayap Centrist-Konservatif di bawah Osa dan Usep yang didukung Militer. PNI Ali-Surahman kemudian dikenal sebagai PNI ASU.
Puncaknya, pada Kongres Luar Biasa PNI yang digelar pada 21-27 April 1966 Di Bandung, Duet Ali-Surachman Dan Loyalis Bung Karno di Partai tersingkir. Sejak saat itu, mulailah de-Sukarnoisasi baik di PNI bahkan diluar PNI. Ali kemudian berangsur-angsur menghilang dari dunia politik Indonesia.
Pada 17 Maret 1975, Ali Sastroamidjojo meninggal dunia. Jasanya yang luar biasa tak akan pernah terlupakan. Setidaknya bagi mereka yang mengerti jejak perjuangannya. Bung Ali Sastroamidjojo layak digelari Pahlawan Nasional.