Biaya UKT Tinggi, Camaba PTN Ini Pilih Mundur dan Kuliah di Universitas Swasta
Kampus swasta diminati karena keringanan biaya UKT yang dikurangi melalui prestasi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliya (bukan nama sebenarnya) sempat diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa Timur lewat jalur SNBT 2023. Perempuan asal tersebut masuk dalam daftar calon mahasiswa baru (camaba) di kampus tersebut.
Ibu dari Aliya, mengatakan, informasi diterimanya anaknya malah tidak membuat sang anak bahagia sepenuhnya. Biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang ditetapkan pada anaknya terbilang cukup mahal.
"Kena UKT tinggi, jutaan rupiah," kata sang Ibu, saat dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (4/7/2023).
Mengetahui biaya besaran tersebut, Aliya justru memilih mengundurkan diri. Ia tidak ingin membebani orang tuanya yang hanya bekerja sebagai karyawan swasta. Padahal sang orang tuanya tidak mempermasalahkannya karena meyakini uang dapat dicari.
Ia menduga sistem kampus mengira anaknya berasal dari keluarga mampu. Oleh karena itu, anaknya dikenakan biaya UKT cukup tinggi. Hal ini diyakininya karena sebenarnya ada banyak camaba di kampus itu yang diterima dengan UKT murah karena proses input datanya sesuai.
Menurutnya, saat ini anaknya sudah memutuskan untuk masuk ke ke salah satu kampus swasta di Jawa Timur melalui jalur prestasi atau nilai rapor. Di kampus tersebut, Aliya dikenakan UKT di bawah PTN sebelumnya untuk jurusan yang ia pilih.
Berdasarkan laporan yang diterima, biaya UKT di tiap prodi dan jenjang kampus tersebut berbeda. Kemudian juga ada Dana Pengembangan Pendidikan (DPP) di kampus tersebut. "Sekarang di sana masih ada diskon 2,1 juta karena jalur prestasi dan bisa dicicil. Ada skema bayar lunas, dicicil sampai dua tahun dan lainnya," ucapnya.
Mahalnya UKT Akibat Komersialisasi Kampus
Skema uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi dinilai harus ditinjau ulang karena sangat memberatkan banyak mahasiswa. Mahalnya biaya UKT disebut merupakan dampak dari berlakunya perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH), yang membuat terjadinya tren komersialisasi di perguruan tinggi.
“UKT ini harus ditinjau ulang ya, karena di lapangan masih sangat memberatkan mahasiswa. Banyak perhitungan yang dirasa tidak masuk akal dan memberatkan orang tua,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji, kepada Republika, Senin (3/7/2023).
Ubaid menyampaikan, penentuan kategori UKT bagi setiap mahasiswa tidak jelas prosesnya. Universitas pun, kata dia, tidak mau terbuka soal itu. Hal tersebut, kata dia, kerap membuat mahasiswa dan orang tuanya terbebani oleh biaya UKT yang tak sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
“Memang ini yang terjadi, tidak jelas bagaimana data diinput, dianalisis, lalu keluar nominal UKT itu prosesnya bagaimana? Ini tidak transparan dan kampus tidak mau terbuka,” kata dia.
Dia menilai, biaya UKT yang semakin mahal merupakan dampak dari berlakunya PTN BH, di mana perguruan tinggi yang berbadan hukum diberikan otonomi untuk mendapatkan keuntungan. Akibatnya, terjadilah tren komersialisasi di perguruan tinggi.
“Jelaslah ini dampak dari PTN BH, di mana kampus diberikan otonomi untuk mendapatkan cuan. Maka yang terjadi adalah biaya jadi tambah mahal karena trennya adalah komersialisasi,” kata dia.