Jangan Mimpi Kuliah Murah Jika Kampus Masih PTN-BH

Pendanaan kampus seolah dibebankan melalui rekrutmen penerimaan mahasiswa.

Republika/Wihdan Hidayat
Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNB) menjadi salah satu penyebab mahalnya kuliah. Peserta mengikuti UTBK-SNBT 2023 (Foto ilustrasi)
Red: Joko Sadewo

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Mahalnya biaya kuliah di kampus negeri yang dikeluhkan saat ini bukan kejutan. Bukan pula sesuatu yang mengagetkan. Ini pun sebenarnya ‘penyakit’ tahunan. Kambuhan jelang pembayaran masuknya calon mahasiswa baru seperti sekarang. Sejak kapan? Sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum diterbitkan.


Sebagian kampus negeri kita telah menjadi subjek hukum yang otonom. Itulah kampus yang berstatus perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH). Kampus berstatus PTN-BH ini sekarang ada 21. Dengan otonomi yang diberikan itu, artinya kampus berhak mengatur atau mengelola perguruan tingginya secara independen, dari aspek akademis hingga pengelolaan keuangannya. Inilah pangkal persoalannya. Semua bermula dari sini.

Barangkali yang diharapkan adalah kampus bisa lebih lincah mencari pendanaan melalui badan usaha yang dikelola atau skema lainnya demi keuangan perguruan tinggi yang lebih sehat. Tapi 10 tahun berjalan aturan itu, bagaimana realisasinya? Saya tidak akan mengatakan semua, tetapi yang ada, pendanaan kampus seolah dibebankan melalui rekrutmen penerimaan mahasiswa.

Maka titik krusialnya adalah mengutak-atik kuota jalur penerimaan mahasiswa baru. Kampus berstatus PTN-BH diizinkan menerima mahasiswa baru melalui jalur mandiri maksimal 50 persen dari total mahasiswa yang diterima. Setengahnya lagi dibagi antara jalur SNBP dan SNBT. Perguruan tinggi sebenarnya boleh menerima mahasiswa baru jalur mandiri kurang dari 50 persen. Tetapi kampus mengambil maksimal. Tidak salah juga. Karena memang di situlah perguruan tinggi mendulang untuk menambah keuangan.

Kita sama-sama tahu bahwa jalur mandiri memang mahal adanya. Uang pangkalnya selangit, puluhan juta. Pasti lebih mahal dari jalur tes yang sekarang disebut Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Atau yang sebelumnya disebut SBMPTN. Sebelum itu namanya SPMB. Sebelumnya lagi namanya UMPTN. Atau generasi lebih dulu akrab dengan nama Sipenmaru. Kalau tidak salah urutannya begitu. Intinya sama, masuk perguruan tinggi melalui tes. Namanya saja yang berubah-ubah. Itulah memang kegemaran kita. Senang berganti-ganti istilah, dalam bidang apa pun.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kampus berstatus PTN-BH menentukan SPP atau yang sekarang disebut uang kuliah tunggal (UKT) itu? BEM UI tegas menyatakan tidak adanya akuntabilitas dan transparansi dalam proses penetapan biaya kuliah. Ini persoalan. Mahasiswa tidak dilibatkan dalam pengambilan sebuah kebijakan yang berpengaruh bagi mahasiswa itu sendiri.

Di sisi lain, penangkapan mantan rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani tahun lalu oleh KPK menjadi tamparan keras. Putusannya pun kini sudah inkrah atau telah berkekuatan hukum tetap. Ia berstatus terpidana. Karomani terbukti menerima suap terkait penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Mau berkilah apalagi jika memang ‘jalur mahal’ ini punya celah menganga potensi kecurangan yang signifikan?

Ketika KPK menangkap mantan rektor Unila...

Ketika KPK menangkap mantan rektor Unila, lembaga antikorupsi itu menyatakan secara terbuka bahwa lemahnya tata kelola dalam penerimaan mahasiswa jalur mandiri karena secara teknis tidak ada pengaturan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Dalam pelaksanaannya, sangat bergantung pada kebijakan masing-masing perguruan tinggi, khususnya terkait aspek transparansi dan akuntabilitas. Di antaranya informasi tentang kuota yang tersedia, kriteria penerimaan, dan besaran sumbangan. KPK pun memberikan rekomendasi agar Kemendikbudristek menyusun petunjuk teknis (juknis), yang mengatur ketentuan terkait penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri dengan mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Tak lama setelah ramai-ramai penangkapan Karomani dan keluarnya rekomendasi KPK itu, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud Nomor 48 Tahun 2022 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru. Tapi aturan baru itu, sama sekali tidak mengubah kuota jalur mandiri sebelumnya. Tetap tertulis ‘maksimal 50 persen’ untuk PTN-BH.

Ketika penerbitan Permendikbud 48/2022 itu, secara normatif Mendikbud Nadiem bilang untuk memperketat pengawasan jalur mandiri. Juga dikatakan tidak boleh ada variabel lain dalam penerimaan jalur mandiri kecuali hasil dari tes yang diselenggarakan kampus. Pernyataan ini sangat normatif. Faktanya hari ini biaya masuk dan UKT mahal, terlebih jalur mandiri. Dikeluhkan oleh orang tua calon mahasiswa baru di mana-mana.

Pertanyaan yang paling mendasar adalah jika SNBT dan seleksi jalur mandiri sama-sama tes, untuk apa dibedakan? Secara praktis, apakah tidak lebih sederhana dan irit dengan satu kali jalur tes? Apa beratnya jika menyatukan dua jalur masuk yang secara normatif substansinya sama-sama tes itu? Mengapa biaya masuknya dan SPP-nya juga berbeda?

Jika memang pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara sebagaimana amanat UUD 1945, tidak masuk akal ketika orang tua mengeluhkan biaya masuk kuliah di kampus negeri. Perguruan tinggi negeri itu milik negara. Apa pun statusnya.

Artinya, biaya untuk sekolah di semua tingkat, termasuk pendidikan tinggi, harus murah. Fasilitas akademik harus memadai. Pendidiknya pun wajib sejahtera. Berlebihan? Tidak! Karena itulah fungsinya negara ada.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler