AS akan Kirim Bom Kluster ke Ukraina, Mengulang Penggunaan di Perang Irak
Sebanyak 120 negara lebih menandatangani konvensi melarang penggunaan bom kluster.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Amerika Serikat (AS) memutuskan akan mengirimkan bom kluster ke Ukraina. Meski 120 negara lebih di dunia melarang penggunaan bom ini dalam peperangan. Isu kemanusiaan menjadi pertimbangan terkait dampak penggunaan bom kluster ini.
Tiga pejabat AS mengungkapkan, paket bantuan senjata termasuk bom kluster yang ditembakkan dari meriam Howitzer 155 milimeter untuk Ukraina, kemungkinan diumumkan pada Jumat (7/7/2023) waktu setempat.
Menurut Times, yang mengutip sumber yang tahu banyak isu ini, menyatakan, sejumlah pembantu Presiden Joe Biden termasuk Menlu Antony Blinken, merekomendasikan agar AS mengirimkan senjata ke Ukraina dalam pertemuan pejabat keamanan nasional pekan lalu.
Ketika diluncurkan, bom kluster akan merilis bom-bom berukurkan lebih kecil (bomblet) dalam jumlah banyak, menyasar area yang sangat luas. Dengan kemampuan senjata ini, memberikan ancaman besar bag warga sipil karena bisa terkena bom tersebut saat masa perang.
Tak hanya itu, setelah perang berakhir, ancaman juga mengintai warga sipil karena bom-bom kecil yang dirilis saat peneyarangan bom kluster ada yang tak berhasil meledak. Bisa saja kemudian meledak beberapa saat setelah masa perang.
AS terakhir kali menggunakan bom kluster saat perang di Irak, pada 2003. Mereka memutuskan tak menggunakan kembali saat konflik berubah medannya, yaitu ke lingkungan urban yang padat dihuni oleh warga sipil.
Menurut laman Cluster Munition Coalition, kampanye global masyarakat sipil untuk menghapus penggunaan bom kluster, AS dan Inggris menggunakan 13 ribu bom kluster berisi bomblet sebanyak 1,8 juta hingga 2 juta unit dalam tiga pekan serangan besar.
Menurut Aljazirah, lebih dari 120 negara menandatangani United Nations Convention on Cluster Munitions pada 2008, yang melarang penggunaan bom kluster termasuk sekutu Ukraina dan AS selama ini di antaranya Prancis dan Inggris.
Ukraina, Rusia, dan AS belum menandatangani traktat itu meski aturan tahun 2009 melarang AS mengekspor bom kluster dengan kegagalan ledakan bomblet di atas satu persen. Biden, bagaimanapun, dapat menyiasati larangan tersebut dengan dalih demi keamanan nasional AS.
HRW mengkritik Ukraina dan Rusia....
Sebelumnya, Human Rights Watch (HRW) mengkritik Ukraina dan Rusia atas penggunaan bom kluster dalam konflik di antara mereka. Rusia dinilai secara luas menggunakan bom kluster yang menyebabkan kematian banyak warga sipil juga luka serius.
Sedangkan Ukraina, menggunakan senjata kluster ini dalam serangan yang menargetkan Izyum, kota yang diduduki Rusia, pada 2022. Serangan ini menyebabkan delapan warga sipil tewas dan menyebabkan 15 orang lainnya terluka.
Namun, Ukraina menyanggah, tak pernah menggunakan bom kluster untuk menyerang kota tersebut atau wilayah di sekitarnya. ‘’Bom kluster digunakan Rusia dan Ukraina menewaskan warga sipil,’’ kata pejabat direktur senjata HRW, Mary Wareham.
Kedua belah pihak, kata dia, mestinya segera menyetop penggunaan bom kluster dan tak berupaya menggunakan senjata lain yang bisa menyasar sembarang orang. Namun, hal ini diabaikan oleh pimpinan di pemerintahan Ukraina.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan pejabat senior lainnya bahkan meminta tambahan stok senjata kluster ini dari para sekutunya.Mereka menilai, jenis senjata ini cara ampuh menembus pertahanan Rusia yang memperlambat serangan balik Ukraina.
Hal senada disampaikan salah seorang pejabat AS kepada Times. Ia menyatakan, sangat jelas situasi di medan pertempuran Ukraina saat ini membuat bom kluster 100 persen dibutuhkan. Bulan lalu, pejabat Pentagon membahas isu ini juga.
Ia menyatakan, militer AS meyakini bom kluster akan berguna dalam membantu Ukraina. Namun, jelas dia, mereka belum memberikan persetujuan pengiriman untuk Kiev sebab perlu persetujuan kongres dan negara-negara sekutu.