Kisah Oppenheimer, Benarkah Einstein tak Mau Memaafkannya?

Artikel berikut mengandung spoiler bagi yang belum menonton Oppenheimer.

Universal Pictures
Karakter Albert Einstein (kiri) dan J Robert Oppenheimer (kanan) di film Oppenheimer. Dalam film, bagi Einsten, karya Oppenheimer tetap tidak termaafkan.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Film terbaru sutradara Christopher Nolan, Oppenheimer, sukses mendapat pujian dari para kritikus dan penonton berkat pengalaman sinematik yang tak terlupakan. Namun, mungkin tak sedikit yang kemudian merenungkan akhir cerita dari film dan ikut merenungkan apakah dunia akan memaafkan sang ilmuwan atas perannya dalam penciptaan bom atom?

Baca Juga


Film Oppenheimer menutup kisahnya dengan mengungkap percakapan antara Oppenheimer dan Albert Einstein. Film ini kembali ke momen setelah Oppenheimer menjalani sidang keamanan pada 1954, dan penunjukan Lewis Strauss untuk posisi Menteri Perdagangan ditolak senat.

Einstein mengatakan kepada Oppenheimer, setelah dunia mengutuknya, mereka pada akhirnya memaafkan karyanya tentang bom atom. Namun bagi Einstein, karya Oppenheimer tetap tidak termaafkan. Penciptaan bom atom menyebabkan sesuatu yang lebih berbahaya, dan Oppenheimer tidak lagi memiliki kendali atasnya.

Einstein mengakui, ia sulit memahami apa yang Oppenheimer mulai. Komentarnya menyinggung fakta bahwa teori relativitas Einstein mengarah pada mekanika kuantum, yang pada akhirnya membuka jalan bagi penciptaan bom atom.

Oppenheimer kemudian mengungkapkan, bom atom yang dibuatnya akan membawa pada kehancuran dunia yang membuat Einstein terguncang dan meninggalkannya. Dalam kepala Oppenheimer, dia menyaksikan kehancuran dunia akibat perang nuklir.

Penggambaran terakhir Oppenheimer adalah kehancuran bumi akibat perang nuklir. Oppenheimer melihat semua ini dalam pikirannya, membayangkan malapetaka yang ditimbulkan oleh penciptaan bom atom. Pada shot terakhir, Oppenheimer juga melihat tetesan air hujan di kolam, paralel dengan awal film. Seolah-olah dia melihat dunia kuantum, atom-atom adalah tetesan air hujan, kecil, tetapi berdampak besar.

Oppenheimer menciptakan yang ditakutinya saat muda...lanjutkan membaca>>

 

 

 

Ledakan yang dihasilkan dari senjata nuklir pada dasarnya adalah dunia kuantum yang dibuat lebih besar. Oppenheimer menciptakan apa yang ditakutinya saat masih muda, mengubah dunia menjadi horor global, bom atom hanyalah permulaan.

Dalam kisah lain, Lewis Strauss memiliki dendam pribadi terhadap Oppenheimer yang tidak pernah ia lupakan. Setelah dihina dan diejek di depan umum oleh Oppenheimer, yang telah mengejek jawaban Strauss pada sebuah dengar pendapat tentang radioisotop, Strauss memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri.

Strauss tidak ingin menjalankan Komisi Energi Atom (AEC) jika itu berarti Oppenheimer akan terus memengaruhi keputusan pemerintah mengenai senjata nuklir, terutama karena mereka menentang bahayanya. Sebagian besar adalah kepicikan yang memicu tindakan Strauss, dan Nolan dengan cerdas menawarkan dua pendapat berbeda dari Strauss dan Oppenheimer saat rapat dengar pendapat, sehingga menyuguhkan argumen yang utuh kepada penonton.

Oppenheimer akhirnya berubah pikiran, menentang pengembangan bom hidrogen, dan berjuang untuk perdamaian nuklir. Namun, dia tidak menyesali perannya dalam membangun bom atom. Oppenheimer melakukan apa yang ditugaskan kepadanya, namun bersikukuh bahwa itu adalah kejahatan, dan menentang penggunaan bom itu.

Akhir film Oppenheimer juga tidak memihak dalam perdebatan apakah Oppenheimer salah karena membuat bom atom. Film Oppenheimer karya Christopher Nolan sadar diri, dan lebih merupakan bentuk kesadaran diri terhadap seorang pria dengan ambisi besar yang menyerah pada keinginan para politisi, namun bukan berarti dirinya bebas dari kesalahan.

Kehidupan Oppenheimer setelah kejadian di film...lanjutkan membaca>>

Seperti dilansir laman Screen Rant, Jumat (21/7/2023), setelah kejadian di film, Oppenheimer menjauhkan diri dari sorotan publik setelah izin keamanannya dicabut. Dia pindah bersama keluarganya ke St John di Kepulauan Virgin. Dia terus memberikan kuliah, dan menjadi lebih vokal tentang cara-cara penggunaan penemuan ilmiah, dan ancaman yang ditimbulkannya terhadap dunia.

Bersama dengan Einstein dan ilmuwan lainnya, Oppenheimer mendirikan World Academy of Art and Science. Dia juga bergabung dengan Institut Studi Lanjutan Princeton sebagai direktur pada tahun 1947. Fisikawan ini juga menulis tentang keprihatinannya terhadap penggunaan sains di bidang politik, dan akhirnya menerbitkan sebuah buku yang berisi ceramah-ceramahnya.

Namun, dia tidak pernah secara terbuka menentang senjata nuklir seperti yang dilakukan oleh beberapa koleganya, kemungkinan besar karena alasan keamanan. Selama itu, Oppenheimer tidak pernah berhenti mendiskusikan sains, dan meskipun dia masih dijauhi dari kekuasaan politik, dia akhirnya dianugerahi Enrico Fermi Award pada tahun 1963, yang diinginkan oleh Presiden John F Kennedy atas kontribusinya selama Perang Dunia II.

Tidak lama kemudian, pada tahun 1965, Oppenheimer menderita kanker tenggorokan dan meninggal dunia pada Februari 1967. Warisannya terus berlanjut, tetapi kekuatannya untuk memengaruhi sangat tercoreng selama masa hidupnya, dan hal itu sangat memengaruhi sisa hari-harinya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler