Salah Kaprah Pembatasan Jumlah Partai Politik
Pembatasan Partai Politik : Demi Ideologi Atau Takut Tersaingi?
Kalau dahulu, di zaman Pemerintahan Bung Karno, Penpres No. 7 Tahun 1959 Tentang syarat Penyederhanaan Partai Politik dikeluarkan dengan maksud agar Partai Politik menerima dan mendukung Pancasila dan Manifesto Politik/USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Bahkan dalam Pasal 1 nya tersendiri tertera bahwa Partai adalah organisasi golongan rakyat berdasarkan persamaan kehendak didalam negara untuk memperjuangkan bersama sama tercapainya tujuan rakyat yang tersusun dalam bentuk negara. Atas keluarnya Penetapan ini, 2 Partai besar tersingkir karena menolak mendukung Pancasila dan UUD 1945 dalam kerangka Manipol/USDEK.
Berbeda dengan situasi sekarang, penyederhanaan partai politik lebih terkesan takut tersaingi, dan bahkan cenderung mematikan potensi partai politik yang bisa masuk Parlemen untuk berkembang. Bahkan dikatakan, pembatasan jumlah parpol ini untuk “menyederhanakan sistem kepartaian” atau dalam rangka “memperkuat sistem pemerintahan (presidensil)”. Padahal, antara kebutuhan sekelompok warga negara membentuk partai politik, dan kebutuhan partai politik tertentu untuk terlibat sebagai kompetitor dalam pemilu, merupakan dua urusan yang berbeda.
Kebutuhan sekelompok warga negara mendirikan partai politik tidak dapat direduksi oleh aturan yang ketat karena berkaitan dengan hak berserikat dan berkumpul. Sementara soal keterlibatan parpol berkompetisi dalam pemilu, dan layak atau tidaknya partai meloloskan perwakilan di parlemen (Parliamentary Threshold), “memang perlu diatur”, baik untuk kelancaran teknis penyelenggaraan pemilu, maupun agar output pemilu dapat mengisi rancangan sistem politik yang telah direncanakan.
Persoalan bermula ketika partai politik dipandang semata sebagai alat elektoral. Partai tidak dilihat dalam keseluruhan perannya, yaitu sebagai wadah pengorganisasian “tertinggi” warga negara untuk membentuk pemerintahan—dengan berbagai cara atau jalan yang demokratis. Kegiatan elektoral dalam suatu sistem kenegaraan hanya salah satu di antara berbagai cara membentuk pemerintahan. Selain itu, pembentukan partai politik bukanlah suatu proses yang instan melainkan suatu proses panjang yang tidak dapat ditentukan batas waktunya, apalagi seturut regularitas pemilu lima tahunan.
Dalam sejarah keberadaannya di Indonesia, partai politik didirikan tidak untuk mengirim perwakilan ke dalam parlamen (Volkstraad, antara 1918-1942) melainkan dipakai sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme. Baru sepuluh tahun setelah kemerdekaan, yakni tahun 1955 dan 1957, parpol-parpol mulai ambil bagian dalam pemilihan umum dan mengisi parlamen (DPR serta Konstituante dan DPRD).
Demikian halnya kejadian di benua Eropa, asal partai politik mulai dikenal. Perkembangan hak pilih universal lah, yang merupakan hasil dari dinamika perjuangan massa ekstra-parlementer, yang memaksa kelompok-kelompok politik dalam parlamen (saat itu hanya berisi kaum bangsawan dan aristokrat) untuk menjalin hubungan dengan massa—sehingga kemudian terbentuk partai politik — (Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa politik elektoral dalam wujud sekarang merupakan produk dari dinamika politik massa yang kemudian menempatkan parpol sebagai subyek penting dalam sistem politik modern. Memandang partai politik semata untuk menjalankan aktivitas elektoral, sebagaimana yang dilakukan pemerintah, DPR, dan sejumlah kaum akademisi sekarang, dapat ditarik kemiripannya dengan praktek kelompok-kelompok aristokrat/bangsawan di Inggris dan Prancis, yang hanya “memerlukan” dukungan rakyat dalam bentuk suara (votes). Pola semacam ini yang mengalami penguatan di berbagai negeri dan dipaksakan untuk diterima sebagai bentuk final dari demokrasi “secara universal”. Namun penganjurnya kurang menyadari, bahwa pola ini justru bertentangan dengan demokrasi—sebagai capaian tertinggi dari evolusi pemerintahan sepanjang sejarah umat manusia.
Sedikit mengilas balik, di Indonesia, dalam waktu relatif singkat persoalan kebebasan berpartai telah mengalami fluktuasi tajam; dari sistem yang ketat di masa orde baru (sampai 1998), kemudian nikmat kebebasan sesaat (antara 1998-2001), dan kemudian kembali mengalami pengetatan menjelang pemilu 2004 hingga sekarang.
Di masa orde baru Soeharto, seluruh jabatan politik ditentukan dari atas ke bawah (top-dowm). Bila ada aspirasi dari bawah, pun harus melalui saringan yang ketat, antara lain dengan ketentuan ‘bersih diri’ dan ‘bersih lingkungan’, atau, tidak menjadi potensi yang membahayakan kemapanan rezim berkuasa. Karenanya “penyederhanaan sistem kepartaian” dilakukan melalui fusi yang dipaksakan, dan posisi politik penting hanya dipegang oleh para loyalis orde baru. Hanya Golongan Karya (Golkar) dibantu Anasir Militer dan segala macam organisasi yang ikut haluan kuningnya yang memegang kekuasaan mutlak, dengan dua partai politik sebagai aksesoris “demokrasi Pancasila” ala orba.
Sistem ini jebol oleh dua kekuatan yang saling bertemu pada momentum krisis ekonomi tahun 1997-1998, yaitu gelombang perlawanan rakyat di satu sisi, dan kepentingan kapital internasional di sisi lain—yang menghendaki liberalisasi sepenuhnya atas sistem ekonomi-politik nasional. Gelombang perlawanan rakyat berhasil menunjukkan kekuatan tawarnya dalam pembukaan sistem politik. Sehingga, pada pemilu tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, syarat pendirian parpol dibuat sangat mudah, yaitu cukup dengan melibatkan minimal 50 (lima puluh) orang berusia di atas 21 tahun yang mencatatkan pendirian partai pada notaris.
Namun bulan madu kebebasan berpartai hanya berlangsung singkat, karena setelah itu langsung dikungkung melalui rentetan peraturan yang memberatkan syarat pendirian partai politik. Masing-masing lewat keluarnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, dan semakin ketat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, kemudian lebih ketat lagi lewat revisi lewat UU No. 2 Tahun 2011.
Membatasi keinginan warga negara untuk mendirikan partai politik, dalam iklim neo-liberalisme seperti sekarang, adalah paradoks yang menggelikan. Namun kenyataan ini yang sedang terjadi. Karenanya, gugatan terpenting saat ini bukan persoalan ke depan yang lebih maju; seperti sistem pemerintahan seperti apakah yang akan terbentuk sebagai hasil demokratisasi pasca Mei 1998. Pertanyaan kita sekarang terpaksa mundur ke belakang, yaitu tentang komitmen kekuatan-kekuatan politik yang ada di kekuasaan terhadap demokrasi itu sendiri—sebagai fondasi bangunan sistem pemerintahan yang hendak diciptakan.
Susunan politik saat ini memang didirikan lewat cara yang berbeda dibandingkan masa kolonial dengan Volksraad, maupun dengan masa kediktatoran orde baru yang dibayang-bayangi teror kekerasan militer. Bila pada kedua masa tersebut pemaksaan dalam menyusun kekuasaan politik dilakukan melalui kekuatan militer, maka pada masa sekarang paksaan tersebut melalui kekuatan ekonomi. Sulit membayangkan kelompok warga negara atau lapisan sosial yang tidak kaya dapat membentuk parpol sesuai syarat dan batas waktu yang tercantum dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 itu.
Menghadapi situasi ini, dalam hemat saya, terdapat dua opsi bagi kelompok warga negara dari lapisan sosial pas-pasan yang hendak mendirikan partai politik sebagai sarana pendidikan politik rakyat bagi Kaum Marhaen. Pertama, tetap mendirikan partai politik tanpa harus meminta legitimasi dari pemerintah. Konsekuensinya, ruang gerak parpol dimaksud menjadi lebih terbatas dan—sangat mungkin—lebih sulit memperoleh kepercayaan massa rakyat Marhaen yang masih berkesadaran formal legalistik. Kedua, kelompok warga negara ini dapat mengorganisir kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap keputusan dimaksud, baik melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) maupun melalui metode perjuangan lain. Kedua opsi ini pun dapat dilakukan secara simultan.