Jika Mencuri Bisa Diberlakukan Potong Tangan, Mengapa Korupsi tidak?

Korupsi berbeda dengan ketentuan mencuri dalam Islam

Freepik
Ilustrasi korupsi. Korupsi berbeda dengan ketentuan mencuri dalam Islam
Rep: Andrian Saputra Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Apakah sama hukuman antara mencuri dan korupsi, yaitu bisa diterapkan hukuman hudud dipotong tangannya? 

Baca Juga


 

Menurut Dr Erwandi Tarmidzi dalam Harta Haram Muamalat Kontemporer menjelaskan, tidak sama antara hukum mencuri dan korupsi di dalam Islam. 

 

Korupsi lebih dekat sebagai ghulul yang dimaknai seba gai pengkhianatan kepada harta negara. Perbedaan mendasar antara mencuri dan korupsi dalam Islam adalah pencurian (yang divonis potong tangan) memiliki salah satu syarat, yakni berada dalam jangkauan pengamanan pemiliknya.

 

Beberapa contohnya, yakni emas yang disimpan dalam brankas atau mobil di dalam bagasi. Sementara itu, harta yang dikorupsi sebelumnya memang bisa diakses oleh pejabat atau administrator negara yang korup. Harta itu diselewengkan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri. Begitulah perbedaan di antara keduanya.

 

 

Hukuman untuk tindak pidana pencurian yang memenuhi persyaratan di atas adalah potong tangan. Sebab, Islam menganggap harta adalah salah satu hal yang harus dijaga. Karena itu, harus ada hukuman setimpal untuk masalah pencurian.

Baca juga: Ketika Kabah Berlumuran Darah Manusia, Mayat di Sumur Zamzam, dan Haji Terhenti 10 Tahun

Abdul Qadir Audah dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid V menuliskan, empat imam mazhab, ulama Zahiriyah, dan Syiah Zaidiyah mendefinisikan hukuman potong tangan dari telapak sampai pergelangan. Sebab, mereka beranggapan batas minimal tangan, yakni dari jari sampai pergelangan tangan Dalam QS al-Maidah ayat 38, Allah SWT berfirman:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

 

 

 

 

Kendati demikian, hukuman potong tangan tidak bisa diterapkan semena-mena. Syekh Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al- Qurthubi menjelaskan, penghilangan atau pemotongan tidak diwajibkan kecuali terpenuhi beberapa syarat, yakni orang yang melakukannya, sesuatu yang dicuri, maupun tempat yang dicuri.  

Bagaimana dengan koruptor? Dr Erwandi Tarmidzi menjelaskan, koruptor diwajibkan mengembalikan uang negara yang diambilnya, sekalipun telah habis digunakan. Negara berhak untuk menyita hartanya yang tersisa dan sisa yang belum dibayar akan menjadi utang selamanya. Ketentuan ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:

"Setiap tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan hak nya wajib menanggungnya hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya" (HR Tirmidzi). Zaila'i berkata, "Sanad hadis ini hasan").

Berikutnya, yakni hukuman tazir. Hukuman tazir adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sebuah kejahatan yang sanksinya tidak ditentukan oleh Allah karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan untuk menjatuhkan hukuman hudud. (Almausuah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, jilid XII, hal 276.) 

Menurut Erwandi, kejahatan korupsi serupa dengan mencuri, hanya tidak terpenuhi persyaratan untuk dipotong tangannya. Karena itu, hukumannya berpindah menjadi tazir.

 

Jenis hukuman tazir terhadap koruptor diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang) untuk menentukannya. Bisa berupa hukuman fisik, harta, kurungan, morel, dan lain sebagainya, yang dianggap dapat menghentikan keinginan orang untuk berbuat kejahatan. 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler