Korut Pamer Rudal Berkemampuan Nuklir Kepada Rusia dan Cina

Korut menggelar parade pringatan 70 tahun berakhirnya Perang Korea.

EPA-EFE/KCNA
Foto yang dirilis oleh Kantor Berita Pusat Korea Utara (KCNA) resmi menunjukkan uji tembak rudal balistik antarbenua (ICBM) berbahan bakar padat Hwasong-18 baru di lokasi yang dirahasiakan di Korea Utara, (13/7/2023).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Pemimpin Korea Kim Jong-un memamerkan rudal berkemampuan nuklir kepada Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu dan anggota Politbiro Partai Komunis Cina, Li Hongzhong, dalam parade militer yang digelar di Pyongyang pada Kamis (27/7/2023) malam. Parade yang ditunggu-tunggu secara luas ini merupakan perayaan untuk memperingati 70 tahun berakhirnya Perang Korea.

Korea Utara merayakan berakhirnya Perang Korea sebagai perayaan "Hari Kemenangan". Dalam foto yang dirilis oleh media Pemerintah Korea Utara, Kim, Shoigu, dan Li berbicara dan diselingi tawa selama parade. Mereka juga memberi hormat ketika barisan pasukan Korea Utara melintas di hadapan mereka.

Kunjungan Shoigu ke Korea Utara menandai pertama kalinya pejabat tinggi pertahanan Moskow melakukan perjalanan ke Pyonguang sejak pecahnya Uni Soviet pada 1991. Li dan Shoigu adalah delegasi asing pertama yang mengunjungi Korea Utara sejak pandemi Covid-19.

Kantor berita Korea Utara, KCNA, melaporkan, parade militer itu menampilkan rudal balistik antarbenua Hwasong-17 dan Hwasong-18. Keduanya adalah rudal terbaru yang dimiliki Korea Utara. Rudal ini diyakini memiliki jangkauan untuk menyerang Amerika Serikat.

Parade tersebut juga menampilkan drone pengintai terbaru. Kim mengadakan resepsi dan makan siang dengan Shoigu. Dalam jamuan makan siang itu, Kim bertekad menjaga solidaritas dengan rakyat Rusia dan militernya. Sementara Shoigu memuji militer Korea Utara sebagai yang terkuat di dunia, dan keduanya membahas kerja sama keamanan dan pertahanan strategis.

Baca Juga


Shoigu membacakan pidato ucapan selamat dari Presiden Rusia, Vladimir Putin yang berterima kasih kepada Korea Utara atas dukungannya selama operasi militer khusus di Ukraina, lapor media pemerintah.

Washington menuduh Pyongyang menyediakan senjata ke Rusia untuk meningkatkan serangan di Ukraina. Wakil juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel mengatakan, Washington sangat khawatir tentang hubungan antara Moskow dan Pyongyang.

Ankit Panda dari Carnegie Endowment for International Peace yang berbasis di AS, drone pengintai baru yang dimiliki Korea Utara dapat digunakan untuk menyurvei target secara real time, melakukan penilaian kerusakan dalam perang dan secara umum meningkatkan kesadaran situasional strategis. Pada Desember, lima drone Korea Utara menyeberang ke Korea Selatan.

Langkah ini mendorong militer Seoul untuk mengerahkan jet tempur dan helikopter, serta meningkatkan tindakan anti-drone di fasilitas utama, termasuk kantor kepresidenan. "Drone serang baru akan digunakan secara terbatas dalam perang di Semenanjung Korea mengingat kerentanan mereka terhadap pertahanan anti-pesawat, tetapi Korea Utara mungkin berusaha menawarkan drone ini kepada pelanggan eksternal," kata Panda.

Drone itu termasuk di antara senjata yang ditampilkan di pameran senjata yang dikunjungi Kim dan Shoigu minggu ini di Pyongyang. Dalam pidatonya di acara parade militer, Menteri Pertahanan Korea Utara, Jenderal Kang Sun-nam menuduh Amerika Serikat dan sekutunya meningkatkan ketegangan di Semenanjung Korea. Korea Utara telah berada di bawah sanksi PBB untuk program rudal dan nuklirnya sejak 2006, termasuk larangan pengembangan rudal balistik.

Dalam beberapa tahun terakhir, Rusia dan Cina telah menentang upaya yang dipimpin AS untuk menjatuhkan sanksi lebih lanjut terhadap Korea Utara. Rusia dan Cina berpendapat, sanksi terhadap Korea Utara harus dilonggarkan untuk tujuan kemanusiaan serta upaya untuk merayu Pyongyang agar mau bernegosiasi.

Profesor studi internasional di Ewha Womans University di Seoul, Leif-Eric Easley, mengatakan, kehadiran Cina dan Rusia di acara parade militer Korea Utara meragukan kesediaan negara-negara tersebut untuk memberlakukan sanksi. "Tidak membantu, ketika dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB secara terbuka mendukung rezim Korea Utara yang melanggar hak asasi manusia dan mencemooh resolusi yang melarang pengembangan nuklir dan misilnya,” kata Easley. 

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler