Mutasi Covid-19 Banyak Ditemukan di Jakarta, Pakar: Perlu Dianalisis Lebih Dalam
Varian omicron memiliki 50 mutasi, sedangkan delta memiliki 113 mutasi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar FKUI Prof Tjandra Yoga Aditama menyoroti sample swab pasien di Jakarta yang menghasilkan varian mutasi Covid-19 terbanyak. Menurut dia, Covid-19 memang akan selalu bermutasi dan menghasilkan banyak varian baru dari waktu ke waktu.
Dia menambahkan, mutasi itu dilakukan dengan tiga skenario. Pertama, standar, layaknya varian-varian umum pada saat ini. Kedua, best, varian baru akan lebih lemah dari sebelumnya dan tidak perlu pengulangan vaksin baru. Terakhir, varian worst, dimana menghasilkan varian yang lebih berat dari sebelum-sebelumnya.
“Laporan sampel dari Indonesia yang disebut memiliki banyak sekali mutasi dan lebih menular perlu dianalisis lebih dalam,” kata Tjandra Yoga dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (1/8/2023).
Dia menjelaskan, analisis bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, cara genomik dengan melakukan analisisi rantai molekulernya. Baik pada kasus yang ada di Jakarta maupun kasus lain dari Indonesia yang dikirim ke GISAID. Kedua, epidemiologik lapangan, untuk menentukan gambaran klinik dan bagaimana penularannya ke sekitar.
“Dua analisis inilah baru kita akan dapat lebih tepat menentukan situasi mana yang sebenarnya terjadi, dan kalau memang terjadi virus yang mudah bermutasi maka apakah hanya pada satu kasus itu atau ada di kasus-kasus lainnya juga,” tutur dia.
Varian yang lebih menular...
Dengan adanya sorotan itu, Indonesia dia sebut perlu tetap menjaga surveilan genomik menggunakan jumlah yang cukup tinggi. Sebab, secara umum sangat mungkin menghasilkan varian baru Covid-19, selain kabar varian yang lebih menular meski perlu diteliti lebih lanjut.
“Selain surveilan genomik, maka sama seperti penyakit menular yang lain, kalau ada kasus positif tentu tetap perlu analisa tentang kemungkinan penularan yang sudah terjadi. Ini adalah praktik yang umum untuk penyakit menular langsung, ada atau tidak adanya pandemi,” ucap dia.
Sebelumnya, sebuah varian SARS-CoV-2 baru dengan jumlah mutasi terbanyak ditemukan dalam sampel swab dari seorang pasien di Jakarta. Varian ini merupakan varian delta terbaru yang memiliki lebih dari 100 mutasi.
Sebagai perbandingan, varian omicron memiliki sekitar 50 mutasi. Sedangkan varian delta yang baru ini memiliki 113 mutasi. Sebanyak 37 mutasi di antaranya ditemukan pada bagian spike protein virus SARS-CoV-2.
Dengan jumlah mutasi mencapai 113, varian delta baru ini digadang menjadi varian SARS-CoV-2 dengan jumlah mutasi terbanyak. Varian baru ini bahkan dijuluki sebagai varian paling ekstrem.
Spike protein merupakan bagian dari tubuh virus yang memungkinkan virus untuk menempel dan masuk ke dalam sel manusia. Banyak vaksin Covid-19 yang bekerja dengan cara menarget spike protein pada virus SARS-CoV-2.
Kemunculan varian baru ini memang berisiko memicu lonjakan kasus Covid-19. Akan tetapi, para dokter menilai tak ada alasan untuk khawatir karena lonjakan tersebut berpeluang kecil untuk menyebabkan lockdown.
Infeksi kronis..
Ahli virologi dari Warwick University, Prof Lawrence Young, mengungkapkan bahwa dia belum bisa memastikan apakah varian baru ini akan menyebar luas ke banyak orang. Alasannya, varian baru ini harus bisa bersaing dengan varian yang saat ini mendominasi, yaitu varian-varian omicron, seperti dilansir News AU.
Varian baru delta ini diyakini berasal dari sebuah kasus infeksi SARS-CoV-2 kronis atau jangka panjang yang dialami oleh seorang pasien Covid-19. Alih-alih melawan infeksi dalam hitungan pekan, tubuh pasien tersebut harus bergelut dengan serangan virus selama beberapa bulan.
Infeksi kronis seperti ini biasanya terjadi pada pasien Covid-19 dengan gangguan sistem imun, seperti dilansir Metro. Beberapa contohnya adalah pasien AIDS atau pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi.
Kondisi sistem imun mereka yang lemah membuat tubuh mereka kesulitan untuk menyingkirkan virus SARS-CoV-2 dari tubuh saat terkena Covid-19. Ahli virologi dari University of Reading di Inggris, Prof Ian Jones, menilai varian baru yang ditemukan di Jakarta ini memiliki mutasi tak biasa.