Penegasan Komisi Fatwa MUI Ini Jawab Keraguan Haramnya Minuman Rendah Alkohol
Minuman rendah beralkohol adalah haram menurut fatwa MUI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Produk minuman bir yang memabukkkan masih banyak beredar di tengah masyarakat Indonesia. Namun, semua umat Islam diharamkan untuk mengonsumsi minuman yang memabukkan tersebut.
Namun, seperti dkutip dari situs Rumah Fiqih, para ulama Arab Saudi membolehkan minuman berkadar Alkohol rendah hingga tiga persen untuk diminum. Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Apakah bir yang tidak memabukkan dan kadar alkoholnya rendah dihalalkan?
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda, menjelaskan dalam standar fatwa produk halal MUI sudah ditetapkan bahwa bahan-bahan yang digunakan harus halal dan proses produksi dijamin tidak ada kontaminasi dengan najis.
Di samping itu, menurut dia, ada juga standar penamaan, standar bentuk, kemudian kemasan, dan aroma yang berafiliasi dengan sesuatu yang diharamkan. “Nah, produk yang dinamakan bir, meskipun dia tidak ada kandungan alkohol yang non-khamr, atau kandungan alkohol yang non-khamr itu di bawah 0,4 persen, tetap diharamkan,” ujar Kiai Miftah saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (2/8/2023).
Berdasarkan Fatwa MUI No 4 Tahun 2003, salah satunya disebutkan tidak diperbolehkan untuk makanan dan minuman menggunakan atau menyebutkan nama-nama yang diharamkan. Salah satunya seperti penggunaan bir atau wine.
Karena itu, menurut dia, MUI juga selalu menolak pengajuan sertifikasi halal produk bir yang zero alkohol sekali pun. “Tetap ditolak untuk mendapatkan sertifikat halal. Nah, ini dilakukan agar orang tidak mempersepsikan bahwa bir itu adalah halal,” ucap Kiai Miftah.
“Jadi, meskipun suatu produk itu zero alkohol atau kandungan alkohol non-khamr-nya di bawah 0,4 persen, tetapi dia dinamakan dengan wine atau dengan bir atau dengan misalnya kopi lain, hanya nama sjaa, itu tetap tidak ditetapkan kehalalannya, karena nama itu diasosiasikan terhadap sesuatu yang diharamkan,” kata Kiai Miftah.
Dia pun mencontohkan nama makanan lainnya, seperti rawon setan atau sambal setan. Menurut dia, meskipun bahannya halal dan proses pembuatannya tidak terkotamanisasi najis, kedua produk tersebut juga tidak akan mendapatkan ketetapan halal dari MUI.
“Tetap ditolak untuk proses ketetapan halalnya, karena di situ menggunakan nama setan,” kata dia.
Baca juga: Alquran Isyaratkan Luar Angkasa Hampa Oksigen Sejak 14 Abad Lalu
Sementara itu, dalam Muzakarah Nasional tentang Alkohol dalam produk minuman yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia pada 13-14 Rabiul Akhir 1414 Hijriyah bertepatan dengan 30 September 1993 di Jakarta dihasilkan keputusan, yaitu pertama, alkohol yang dimaksud dalam pembahasan di sini ialah etil alkohol atau etanol, suatu senyawa kimia dengan rumus C2H5OH.
Kedua, sedangkan minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung alkohol (etanol) yang dibuat secara fermentasi dari berbagai jenis bahan baku nabati yang mengandung karbohidrat, misalnya, biji-bijian, buah-buahan, nira, dan lain sebagainya, atau yang dibuat dengan cara distilasi hasil fermentasi yang termasuk di dalamnya adalah minuman keras klasifikasi A, B, dan C (Per. Menkes No. 86/1977).
Ketiga, anggur obat, anggur kolesom, arak obat, dan minuman sejenis yang mengandung alkohol termasuk ke dalam minuman beralkohol. Juga khamar minuman yang memabukkan, termasuk di dalam minuman beralkohol.
Keempat, berapa pun kadar alkohol pada minuman beralkohol tetap dinamakan minuman beralkohol.
Kelima, dampak negatif dari minuman beralkohol lebih besar dari efek positifnya, seperti pengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani dan rohani, kriminalitas, kenakalan remaja, gangguan kamtibmas, dan ketahanan sosial.
Dampak positif alkohol sebagai obat yang diminum sudah dapat diganti dengan bahan yang lain. Namun, pada obat luar atau obat oles masih digunakan.
Keenam, terkait status hukum minuman beralkohol, meminum minuman beralkohol, sedikit atau banyak, hukumnya haram. Demikian pula dengan kegiatan memproduksi, mengedarkan, memperdagangkan, membeli dan menikmati hasil atau keuntungan dari perdagangan minuman beralkohol
Dikutip dari laman resmi MUI, Selasa (1/8/2023), Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, menyinggung masalah itu saat pembukaan Annual Conference on MUI Fatwa Studies ke-VII yang berlangsung di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan.
“Dua hari lalu muncul viral di media sosial mengenai penerbitan sertifikat halal terhadap wine halal dengan nama produk nabidz yang katanya zero alcohol. Begitu proses tabayun dilakukan siapa yang menetapkan, ternyata itu produk yang ditetapkan melalui self declare, ditetapkan oleh Komite Halal Kementerian Agama, bukan Komisi Fatwa MUI,” ujar Kiai Niam, Rabu (26/7/2023) di Jakarta.
“Jika diasumsikan, produk tersebut zero alcohol, tapi nama, bentuk, dan rasanya bisa berasosiasi dengan produk haram dan/atau najis. Dan sesuai standard halal MUI, itu tidak diperkenankan dengan pertimbangan langkah preventif, yang dalam teori ushul fikih disebut sadduz zariah,” ujarnya.