Intrik Politik Gagalkan Penyelidikan Ledakan Pelabuhan Beirut

Banyak orang di Lebanon telah kehilangan kepercayaan pada penyelidikan dalam negeri.

EPA-EFE/WAEL HAMZEH
Petugas pemadam kebakaran Lebanon mencoba memadamkan api di Pelabuhan Beirut, Lebanon, Kamis (10/9/2020). Kebakaran besar berkobar di pelabuhan Beirut, kurang dari sebulan setelah ledakan besar mengguncang fasilitas pelabuhan dan sekitarnya. Penyebab kebakaran belum diketahui.
Rep: Dwina Agustin Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Tiga tahun setelah ledakan besar pelabuhan Beirut, Lebanon, upaya untuk mengadili kelompok yang bertanggung jawab malah terperosok dalam intrik politik. Jumlah korban meninggal pun masih diperdebatkan dan banyak orang Lebanon kurang percaya pada institusi negara yang hancur.

Saat Lebanon memperingati peristiwa tersebut pada Jumat (4/8/2023), kerabat dari beberapa korban yang berguguran masih berjuang untuk membuat orang yang mereka cintai diakui sebagai korban ledakan. Kondisi ini mencerminkan kekacauan yang sedang berlangsung sejak ledakan 4 Agustus 2020.

Ledakan itu, menurut hitungan Associated Press, membunuh sedikitnya 218 orang dan melukai lebih dari 6.000 orang. Bencana itu menghancurkan sebagian besar wilayah Beirut dan menyebabkan kerusakan miliaran dolar.

Kelompok Lebanon yang mengadvokasi para korban dan penyintas Maan menyebutkan, jumlah korban jiwa mencapai 236 orang, jauh lebih tinggi dari hitungan pemerintah hanya 191 orang. Pihak berwenang berhenti menghitung korban meninggal sebulan setelah ledakan, bahkan beberapa dari yang terluka parah meninggal pada periode berikutnya.

Salah satu korban yang tidak dikenali sebagai korban ledakan adalah seorang anak laki-laki berusia lima bulan bernama Qusai Ramadan, anak pengungsi Suriah. Orang tuanya mengatakan, dia terbunuh ketika ledakan itu menjatuhkan langit-langit dan lemari di kamar rumah sakit, menghancurkannya.

Qusai telah menjalani perawatan untuk kondisi hati yang parah dan dipindahkan ke rumah sakit pemerintah di dekat pelabuhan sekitar seminggu sebelum ledakan. Staf rumah sakit mengatakan bayi itu membutuhkan transplantasi hati dan dalam kondisi kritis.

Pada hari ledakan, bibi Qusai, Noura Mohammed, sedang duduk di samping tempat tidurnya sementara ibunya beristirahat di rumah. Bibi itu mengatakan, staf memerintahkan semua orang untuk mengungsi segera setelah ledakan.

Mohammed menemukan bayi itu meninggal, tertimpa puing-puing yang jatuh, ketika dia kembali. Pejabat rumah sakit mengatakan, Qusai meninggal satu jam setelah ledakan, dengan sertifikat kematian yang mencantumkan serangan jantung sebagai penyebabnya. Keluarga menguburkannya sehari kemudian.

"Kami meminta mereka (pihak berwenang) untuk mendaftarkan putra saya di antara para korban ledakan itu. Mereka menolak," kata ibunya, Sarah Jassem Mohammed.

Penolakan ini membuat mereka tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kompensasi di masa depan. Mereka menuduh pihak berwenang melakukan diskriminasi terhadap korban yang bukan warga Lebanon.

Padahal Lebanon adalah rumah bagi lebih dari satu juta pengungsi Suriah, yang merupakan sekitar 20 persen dari populasi negara itu. Sebuah kelompok Lebanon Gerakan Anti-Rasisme mengatakan, bahwa di antara mereka yang tewas dalam ledakan itu setidaknya 76 warga non-Lebanon, termasuk 52 warga Suriah.

Sementara itu, peringatan ledakan membawa seruan baru untuk penyelidikan internasional terhadap orang-orang yang bertanggung jawab. Pejabat tinggi yang mengizinkan ratusan ton amonium nitrat yang sangat mudah terbakar, bahan yang digunakan dalam pupuk, disimpan secara tidak benar selama bertahun-tahun di sebuah gudang di pelabuhan.

Organisasi Lebanon dan internasional, para penyintas, serta keluarga korban mengirimkan permohonan semacam itu ke Dewan Hak Asasi PBB. "Pada peringatan ketiga ledakan tersebut, kami tidak lagi mendekati keadilan dan pertanggungjawaban atas bencana tersebut," ujar pernyataan bersama.

Warga Lebanon tak percaya pada pemerintah....

Baca Juga


Banyak orang di Lebanon telah kehilangan kepercayaan pada penyelidikan dalam negeri. Beberapa telah mulai mengajukan kasus di luar negeri terhadap perusahaan yang diduga membawa amonium nitrat.

Bahan kimia tersebut telah dikirim ke Lebanon pada 2013. Pejabat politik dan keamanan senior mengetahui keberadaan bahan kimia tersebut dan potensi bahayanya tetapi tidak melakukan apa-apa.

Korban Lebanon dan non-Lebanon sama-sama telah melihat keadilan tertunda, dengan penyelidikan terhenti sejak Desember 2021. Kelas politik Lebanon yang kuat dan korup telah berulang kali ikut campur tangan dalam pekerjaan peradilan.

Pada Januari, jaksa tinggi Lebanon Ghassan Oueidat memerintahkan pembebasan semua tersangka yang ditahan dalam penyidikan. "Kelas politik telah menggunakan setiap alat yang mereka miliki, legal dan ekstra legal untuk merusak, menghalangi, dan memblokir penyelidikan domestik atas ledakan tersebut," kata wakil kepala untuk Timur Tengah dan Afrika Utara di kelompok hak asasi Amnesty Internasional Aya Majzoub.

Warga Suriah Makhoul Mohammed terluka ringan dalam ledakan di apartemennya di Beirut. Sementara putrinya Sama, yang saat itu berusia enam tahun, kehilangan mata kirinya.

Mohammed akhirnya menetap di Kanada tahun lalu. Dia mengatakan, berencana untuk menuntut mereka yang bertanggung jawab atas ledakan tersebut di pengadilan Kanada. “Investigasi (dalam negeri) tidak akan membuahkan hasil selama kelas politik ini menjalankan negara,” katanya.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler