Perundungan Hingga Seks Bebas Masih Marak di Sekolah, Kemana Pencapaian Nawacita?

Mata rantai perundungan di sekolah seakan tak pernah terputus

Antara/Moch Asim
Pelajar SMA PGRI 3 Surabaya membawa poster saat kegiatan kampanye gerakan anti perundungan (bullying). (ilustrasi)
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang Januari-Juli 2023 ada 16 kasus perundungan di satuan pendidikan, di mana empat di antaranya terjadi pada Juli 2023. Dari kasus-kasus yang terjadi, mayoritas kasus terjadi di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).

Baca Juga


“Dari 16 kasus tersebut, empat di antaranya terjadi pada bulan Juli 2023, saat tahun ajaran 2023/2024 belum berlangsung satu bulan. Dari 16 kasus perundungan di satuan pendidikan, mayoritas terjadi dijenjang pendidikan SD dan SMP sebanyak masing-masing 25 peren, SMA 18,75 persen dan SMK 18,75 persen. Sedangkan di MTs 6,25 persen dan pondok pesantren 6,25 persen,” ujar Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, kepada Republika.co.id, Sabtu (5/8/2023).

Adapun empat kasus yang terjadi selama Juli 2023, yaitu perundungan terhadap 14 siswa SMP di Kabupaten Cianjur mengalami kekerasan fisik karena terlambat ke sekolah Kekerasan fisik berupa dijemur dan ditendang itu dilakukan oleh kakak kelas yang sudah duduk di bangku SMA/SMK.

Kasus lain terjadi di salah satu SMAN di kota Bengkulu, di mana seorang siswi yang didagnosa autoimun mengalami perundungan dari empat guru dan sejumlah teman sekelasnya. Lalu, kasus penusukan siswa korban bully ke  siswa yang diduga kuat kerap membully di salah satu SMA di Samarinda sangat mengejutkan publik.

Catatan terakhir adalah kejadian di Rejang lebong, Bengkulu. Di mana seorang guru olahraga yang menegur peserta didik karena kedapatan merokok, si guru sempat menendang anak yang merokok tersebut, orang tua si anak tidak terima dan membawa ketapel ke sekolah lalu menyerang mata si guru hingga pecah dan mengalami kebutaan permanen.

“Jumlah korban perundungan di satuan pendidikan total 43 orang yang terdiri dari 41 peserta didik dan dua guru. Adapun pelaku perundungan didominasi peserta didik yaitu sejumlah 87 peserta didik (92,5 persen), sisanya dilakukan lima pendidik, satu orang tua peserta didik, dan satu kepala madrasah,” jelas dia. 

Dari 16 kasus perundungan di satuan pendidikan, sebagian besar kasus perundungan terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek, yakni sebesar 87,5 persen, dan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama hanya 12,5 persen. Meskipun hanya dua kasus perundungan, tapi korban mencapai 16 peserta didik. 

Baca juga: Alquran Bukan Kalam Allah SWT Menurut Panji Gumilang, Ini Bantahan Tegas Prof Quraish

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, mempertanyakan pencapaian program pemerintah di bidang pendidikan, khususnya Nawacita berbasis pendidikan karakter yang tertuang di Perpres dan Kepmendikbud RI terkait visi pendidikan karakter.   

“Buktinya perundungan di kalangan pelajar malah semakin marak terdengar, dan pelakunya merata dari beragam strata sosial, di mana keseriusan pejabat terkait?” ujar Fikri di Jakarta, Sabtu (5/8/2023).

Politisi PKS itu geram dengan kian maraknya kasus perundungan yang semakin sering terdengar di media, dan merata terjadi di berbagai daerah. Bahkan, di antara korban yang masih pelajar sampai harus meregang nyawa.    

Padahal, sebelumnya, hasil Survei PISA 2019 oleh OECD, yang masih menjadi acuan Kemendikbudristek, sudah menempatkan Indonesia peringkat juara dalam kasus perundungan. Menurut survei tersebut diketahui 41 persen anak di Indonesia mengalami perundungan lebih dari satu kali dalam sebulan.

“Saya mendesak pemerintah khususnya Kemendikbudristek untuk menyatakan darurat bullying (perundungan) agar semua pihak terkait dan masyarakat sama-sama aware dan sadar bahwa kondisi ini jangan disepelekan,” kata dia.

Karena itu, pria asal daerah pemilihan Tegal dan Brebes itu mendesak pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang menjadi salah satu pondasi program Nawacita Presiden RI.

Di samping itu, Kemendikbudristek RI juga telah meluncurkan program yang megah dan menghabiskan anggaran negara tidak sedikit yang bernama ‘Profil Pelajar Pancasila’. Program itu tertuang dalam Permendikbud RI Nomor 22 tahun 2020 tentang rencana strategis kementerian Pendidikan dan Kebudayan tahun 2020-2024. 

“Setelah enam tahun terbitnya Perpres 87/ 2017 dan tiga tahun Permendikbud 22/2020, maka kami jadi bertanya, apakah ini yang dinamakan hasil pendidikan karakter dan pelajar Pancasila? Apa jadinya masa depan bangsa bila kualitas pelajar saat ini lebih sering mempertontonkan urat ketimbang otak dan prestasi?” jelas dia.

Dia menyatakan, di berbagai media terlihat kian hobinya pelajar di berbagai daerah terlibat perundungan hingga mencoreng citra pendidikan di Tanah Air. Dinas Pendidikan Sragen Jateng misalnya mengungkap, ada 25 anak korban perundungan di Sragen menjadi mogok sekolah selama satu bulan terakhir.

Baca juga: Ketika Berada di Bumi, Apakah Hawa Sudah Berhijab? Ini Penjelasan Pakar

 

Di Samarinda, pelajar SMA nekat menikam temannya sendiri karena tidak tahan dibully, ada juga pelajar SMPN 2 Pringsutat Kabupaten Temanggung Jateng yang sampai nekat membakar sekolahnya karena dendam sering dibully oleh teman, bahkan oleh gurunya sendiri, ada juga kasus anak pejabat DPRD di Kota Ambon yang menganiaya pelajar hingga tewas.

 

“Selain itu, juga masih marak pelajar terlibat kekerasan dan tindak pidana baik di dalam maupun luar sekolah seperti tawuran, menjadi begal motor (pelaku klitih), narkoba, seks bebas, hingga prostitusi,” kata dia.  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler