Tiga Dimensi Shalat, Anda Berada di Level yang Mana?
Di level terbawah, orang yang shalat minimal menyadari apa yang sedang dibaca dan apa yang sedang dilakukan. Apabila ia tidak bisa seolah-olah dilihat oleh Allah, minimal merasakan bahwa Dia sedang melihat kita.
TIGA DIMENSI SHALAT, ANDA BERADA DI LEVEL YANG MANA?
Sudah kita maklumi bersama bahwa sebagian besar orang Islam dalam menjalankan shalat lima waktu, masih dalam level sekedar “gugur kewajiban”. Shalat masih dianggap sebagai sebuah kewajiban (bukan kebutuhan), sehingga menjadi suatu beban. Tak jarang yang melaksanakannya dengan berat hati, bahkan terpaksa.
Shalat juga masih dilakukan tanpa kekhusyukan. Karena sudah hafal sepenuhnya, ucapan maupun gerakan shalat dikerjakan secara otomatis. Ia tak lagi menyadari apa yang sedang diucapkan dan apa yang sedang digerakkan. Bahkan, seringnya pikiran pergi mengembara, teringat keluarga, pekerjaan, masalah-masalah yang sedang dihadapi, dan sebagainya.
Shalat tanpa kesadaran.
Padahal, di level terbawah, orang yang shalat minimal menyadari apa yang sedang dibaca dan apa yang sedang dilakukan. Apabila ia tidak bisa seolah-olah dilihat oleh Allah, minimal merasakan bahwa Dia sedang melihat kita. Jikalau pikiran kita melayang ke mana-mana, segera hentikan dan arahkan pikiran untuk kembali ke kegiatan shalat. Kok mendadak pikiran mengembara lagi, ya kembali fokus lagi. Demikian seterusnya.
Pembaca yang budiman, ada tiga dimensi dalam menjalankan shalat, yaitu:
1. Dimensi Syariat (Shalat Raga)
Sudah semestinya seorang hamba taat kepada Penciptanya. Salah satu wujud ketaatan itu adalah melaksanakan shalat. Secara syariat, shalat harus dilakukan lewat ucapan dan gerakan sebagaimana yang telah diajarkan oleh nabi kita.
Ada bukti nyata. Tidak bisa orang mengatakan, “saya cukup shalat di dalam hati saja”, “percaya sepenuhnya akan adanya Allah sudah cukup, tidak perlu shalat”, atau ungkapan senada lainnya. Analoginya ibarat sebuah rumah dengan pintu dan jendela. Jika Allah menghendaki agar bisa bertemu (bertamu) kepadaNya, maka kita mesti lewat pintu depan. Tidak bisa dong kita memaksakan diri masuk lewat jendela, meskipun tetap bisa masuk rumah, tapi kan Allah tidak berkenan.
Analogi lain, kalau negara kita memerintahkan untuk hormat bendera Merah Putih, ya kita harus hormat dengan tangan kita. Tidak bisa kita hormat tanpa gerakan tangan atau hanya dalam hati saja. Mesti ada bukti.
Namun hati-hati, di dimensi shalat raga ini, jika kita hanya menjalankannya sekedar gugur kewajiban, maka shalat kita ya hanya sekedar olahraga betulan, sekedar membuat badan kita sehat atau bugar, tanpa ada dampak apapun baik bagi diri kita sendiri maupun orang lain.
Dan yang perlu digarisbawahi bahwa karena berdimensi syariat, sudah barang tentu akan ada keragaman. Meskipun secara umum adalah sama, namun ada bagian-bagian tertentu yang berbeda.
Gerakan takbir misalnya, ada yang kedua tangannya sejajar bahu, ada pula yang sejajar kuping. Soal tangan bersedekap, ada yang diletakkan di bawah perut, di atas perut, atau di atas dada. Terkait jari telunjuk sewaktu duduk tasyahud, ada yang diangkat sejak awal takhiyat, ada yang diangkat ketika membaca syahadat, atau bahkan tidak mengangkat jari telunjuk sama sekali. Dan contoh lainnya.
2. Dimensi Thariqat (Shalat Cipta)
Shalat jenis ini yaitu yang shalat tidak hanya tubuh fisiknya saja, akan tetapi batinnya juga ikut shalat. Kalau di dimensi syariat, kita menyucikan diri kita dengan berwudlu atau mandi, maka di dimensi thariqat ini, kita menyucikan batin kita dari segala hal-ihwal hawa nafsu dan urusan dunia.
Jikalau sewaktu kita shalat, batin kita masih menyimpan amarah atau dendam, tergesa-gesa, tidak tenang, atau batin masih diliputi oleh kesemrawutan urusan-urusan duniawi; maka shalat kita masih termasuk dimensi yang pertama. Kita shalat dengan batin yang masih kotor, atau Allah belum hadir sepenuhnya di ruang batin kita.
Padahal, ketika takbiratul ihram, kita telah berikrar bahwa hanya Allah-lah yang Mahabesar, selain itu kecil semua. Atau dengan kata lain, selama kita menjalankan shalat maka segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Allah, semestinya disingkirkan.
Pada dimensi ini, yang terpenting adalah shalat semestinya mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar (innash-shalata tanha ‘anil fakhsyai wal munkar). Jika belum, maka shalat kita masih termasuk level sembah raga.
3. Dimensi Hakikat (Sembah Rasa)
Dimensi yang dimiliki oleh para auliya. Yaitu adanya kekhusyukan tidak hanya di waktu shalat, akan tetapi kekhusyukan yang dibawa terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari. Allah senantiasa menyertai hidupnya di setiap waktu dan tempat. Sadar Allah sepenuhnya (mindfullness). Cita rasa hidupnya adalah cita rasa Allah, maka disebut sembah rasa.
Cara bersucinya adalah dengan zuhud, yaitu melepaskan diri dari segala keinginan duniawi. Tidak lagi menjadikan dunia sebagai sumber ketenangan, apalagi tujuan hidup. Dalam menjalani hidup, ia tak lagi merasa khawatir, was-was, atau takut. Yang ada hanyalah ketentraman, ketenangan, dan kebahagiaan. (la khaufun ‘alaihim wa lahum yahzanun).
*****
Semoga dalam menjalankan shalat, kita bisa sampai pada level ketiga, yaitu dimensi hakikat atau sembah rasa. Sekiranya belum, ya minimal di dimensi thariqat.
Jangan sampai kita masih berada di dimensi syariat, sudah begitu sering pula meributkan hal-hal yang bersifat khilafiyah seperti pakai doa Qunut dan tidak pakai, membaca basmalah dengan keras atau tidak, pakai ushalli atau tidak, dan sebagainya.
(Sumber: ceramah Dr. Fahruddin Faiz di channel YouTube)