Isu Penggunaan Senjata Kimia oleh Suriah Jadi Fokus Presidensi AS di DK PBB
Kursi kepresidenan Dewan Keamanan bulan ini dipegang oleh AS.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Amerika Serikat berjanji akan terus mengangkat dan menyoroti kasus dugaan penggunaan senjata kimia oleh rezim Suriah di Dewan Keamanan PBB. Kursi kepresidenan Dewan Keamanan bulan ini diketahui dipegang oleh Washington.
"Kita tidak boleh menyerah pada rasa lelah atau lebih buruk lagi ketidakpedulian. Rezim (Presiden Suriah Bashar al-Assad) menggunakan senjata pemusnah massal terhadap rakyatnya sendiri," kata Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield, Selasa (8/8/2023).
Dia berpendapat, Assad mungkin berharap agar Dewan Keamanan PBB tak lagi mengungkit tentang dugaan penggunaan senjata kimia oleh Suriah dan mengganti topik pembicaraan. Namun, Thomas-Greenfield memastikan hal itu tak terjadi. "Rezim (Suriah) tidak akan lepas dari tanggung jawab," ujarnya.
Thomas-Greenfield menuduh Suriah berulang kali berbohong kepada masyarakat internasional dan tim penyelidik dari Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW). Padahal OPCW sudah mengonfirmasi bahwa setidaknya telah terjadi setidaknya sembilan kali penggunaan senjata kimia di Suriah.
Dia mengatakan, pemerintahan Presiden AS Joe Biden akan terus menuntut perhitungan penuh dari Suriah seperti yang dijanjikan setelah bergabung dengan Konvensi Senjata Kimia pada September 2013.
Untuk pertama kalinya Rusia dan Cina menolak berbicara pada pertemuan bulanan Dewan Keamanan PBB untuk membahas tentang masalah senjata kimia Suriah. Mereka mengatakan, substansi pembahasan terkait isu tersebut hanya repetisi dan harus dikurangi.
Sementara itu Konselor Menteri Suriah Alhakan Dandy mengaku terkejut pada upaya mengupas lagi isu dugaan penggunaan senjata kimia di negaranya. “Mengingat bahwa tidak ada perkembangan yang memerlukannya,” kata Dandy.
Menurut Dandy, langkah AS yang hendak mengeksplotasi secara terus menerus isu penggunaan senjata kimia merupakan bentuk agenda permusuhan Washington terhadap Suriah. Dia menegaskan, Suriah mengutuk penggunaan senjata kimia. Dandy pun menekankan bahwa militer Suriah tidak memiliki senjata semacam itu.
Ia menambahkan, Suriah sudah bekerja sama dengan OPCW selaku organisasi yang memantau implementasi Konvensi Senjata Kimia. Namun, dia menuduh penyelidikan OPCW dipolitisasi dan menggunakan metode kerja yang tidak profesional, termasuk standar ganda.
Pada 2018 OPCW telah membentuk Tim Investigasi dan Identifikasi untuk menyelidiki sembilan serangan di Suriah yang diduga menggunakan senjata kimia. Kota Douma adalah salah satu lokasi yang akan didatangi tim tersebut.
Sebuah dokumen yang disebarkan OPCW ke negara-negara anggotanya mengatakan tim yang dibentuk pada Juni 2018 telah mengidentifikasi daftar sementara yang tak lengkap tentang insiden serangan senjata kimia di Suriah antara 2014 dan 2018. Selain di Douma, tim tersebut akan menyelidiki serangan di Al-Tamanah, Kafr-Zita, dan Hama utara. Semua serangan di daerah itu terjadi pada pada 2014.
Tim itu juga diutus ke Marea dan Aleppo utara untuk mengkaji dugaan serangan senjata kimia yang terjadi pada 2015. Kemudian pada 2017, terdapat tiga serangan di Ltamenah dan Hama yang diduga menggunakan senjata kimia. Pada 2018, dugaan serangan senjata kimia juga dilaporkan terjadi di Saraqib dan Idlib.
Pada 2018 OPCW telah merilis laporan sementara tentang penyelidikan penggunaan senjata kimia di Douma yang terjadi pada April 2018. Mereka menyebut gas klorin telah digunakan dalam serangan itu dan menewaskan 78 warga sipil.
"Seiring dengan residu eksplosif, berbagai bahan kimia organik yang berklorin ditemukan dalam sampel dari dua tempat, yang mana terdapat rantai penuh penjagaan," kata tim pencarian fakta OPCW dalam sebuah pernyataan pada Juli 2018.
Selain kunjungan ke lokasi kejadian untuk mengumpulkan sampel lingkungan, tim OPCW juga melakukan wawancara dengan saksi serta pengumpulan data. "Tim pencarian fakta akan melanjutkan pekerjaannya guna menarik kesimpulan akhir," katanya.
Laporan sementara itu kemudian dibagikan ke negara-negara penandatangan Konvensi Senjata Kimia dan Dewan Keamanan PBB. Tujuannya agar mereka dapat membaca dan menganalisis sendiri hasil laporannya. Namun, sesuai mandatnya, OPCW tak dapat secara langsung menunjuk atau menyebutkan siapa yang bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Kendati demikian AS, Inggris, dan Prancis menuding rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad sebagai aktor atau dalang aksi penyerangan tersebut. Ketiga negara bahkan sempat melancarkan serangan udara ke Suriah, tepatnya ke Damaskus. Serangan secara khusus menargetkan fasilitas-fasilitas militer yang diyakini menjadi tempat pengembangan senjata kimia rezim Suriah.
Pemerintah Suriah mengecam serangan tersebut. Suriah menyatakan serangan yang dilancarkan AS, Inggris, dan Prancis dengan dalih merespons penggunaan senjata kimia di Douma merupakan kebohongan. Serangan itu, menurut Pemerintah Suriah, merupakan aksi balasan karena proksi teroris yang dikendalikan ketiga negara di Ghouta Timur berhasil ditumpas dan dikalahkan.