Perempuan Diduga Terlibat dalam Kekerasan Seksual di Manipur India
MA India akan memantau penyelidikan atas kasus kekerasan seksual di Manipur.
REPUBLIKA.CO.ID, CHURACHANDPUR -- Perempuan menjadi garda depan sekaligus korban dalam kekerasan sektarian yang melanda negara bagian Manipur di India. Warga dan pejabat keamanan mengatakan, perempuan berada di garis depan konflik dengan mengangkat senjata, dan menghalangi pasukan.
Negara bagian timur laut India secara historis rentan terhadap pemberontakan dan kekerasan etnis. Tetapi, konflik ganas antara mayoritas Meiteis dan suku minoritas Kukis di Manipur menjadi berita utama dunia bulan lalu.
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, dua wanita etnis Kuki diarak dalam keadaan telanjang dan dilecehkan. Dalam pengaduan polisi yang ditinjau oleh Reuters, salah satu wanita mengatakan, dia diperkosa sementara ayah serta saudara laki-lakinya dibunuh.
Kelompok perempuan Meitei yang dikenal sebagai Meira Paibis, atau Wanita Pembawa Obor, bertanggung jawab atas beberapa pemerkosaan terhadap perempuan dari komunitas minoritas. Meiteis menyangkal tuduhan tersebut. Tetapi, insiden ini menggarisbawahi kepahitan antara masyarakat di negara bagian kecil di perbatasan dengan Myanmar.
"Partisipasi perempuan di dalamnya (perkosaan) menggarisbawahi kehancuran total semua ikatan sosial," kata analis senior di International Crisis Group, Praveen Donthi, yang menulis laporan tentang konflik Manipur.
"Itu telah membuat perbedaan fisik dan emosional antara komunitas menjadi lengkap dan rekonsiliasi sepertinya tidak mungkin tercapai," ujar Donthi.
Mahkamah Agung India akan memantau penyelidikan atas kasus-kasus kekerasan seksual di negara bagian Manipur. Sementara parlemen federal memulai debat mosi tidak percaya pada Selasa (8/8/2023) melawan pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi karena tidak mampu mengendalikan kekerasan. Kepala polisi Manipur, Rajiv Singh, dan pejabat polisi senior lainnya tidak menanggapi permintaan komentar atas kasus kekerasan seksual tersebut.
Sejak pertempuran dimulai pada awal Mei, setidaknya 180 orang, termasuk 21 wanita, telah tewas dan puluhan ribu kehilangan tempat tinggal. Pasukan keamanan mengatakan, perempuan terlibat dalam memblokir operasi penjaga perdamaian, memanfaatkan undang-undang yang mencegah pasukan pria dari konfrontasi fisik dengan wanita. Mereka juga menempati bunker di garis depan, dengan membawa senapan.
Dalam satu kasus pelecehan seksual, seorang wanita suku Kuki berusia 19 tahun mengatakan kepada Reuters bahwa dia diperkosa di dekat ibu kota negara bagian Imphal pada 15 Mei oleh tiga pria. Pemerkosaan berlangsung setelah dia dibawa ke sekelompok Meira Paibis dan dipukuli.
"Salah satu wanita dari kelompok (Meira Paibis) memberikan instruksi kepada empat pria untuk membunuh saya," kata laporan pengaduan polisi yang diajukan pada 21 Juli.
Polisi tidak menjawab pertanyaan tentang kasus tersebut dan tidak ada catatan penangkapan apa pun. Anggota Meira Paibis di Kota Moirang dekat Imphal, Moirangthen Thoibi Devi, mengatakan, menepis anggapan bahwa wanita Meitei dapat menghasut, bahkan mendukung tindakan kekerasan seksual.
"Meira Paibis tidak membedakan antara Kuki atau Meitei. Ibu Kuki juga kesakitan, ibu Meitei juga kesakitan," ujar Thoibi Devi.
Para wanita tersebut mengatakan, mereka telah mendengar kabar tentang sembilan wanita Meitei yang diperkosa. Tetapi, mereka tidak memiliki bukti dan tidak secara langsung mengetahui adanya insiden tersebut.
Presiden Organisasi Wanita Kuki untuk Hak Asasi Manusia, Ngainekim mengatakan, dia telah mengirim surat kepada perdana menteri pada Juli. Dalam surat itu dia mengatakan bahwa mekerasan seksual dan pemerkosaan sebagai metode atau taktik perang sedang dilakukan secara luas oleh Meiteis.
Dalam suratnya, Ngainekim mengatakan, dia mengetahui 13 kasus perempuan Kuki diperkosa atau dibunuh, termasuk dua perempuan yang diseret oleh Meira Paibis dari asrama mereka dan diserahkan kepada laki-laki Meitei. Mereka kemudian memperkosa perempuan itu beramai-ramai dan dibunuh di gudang cuci mobil di East Imphal.
Dalam pengaduan polisi yang ditinjau oleh Reuters, ibu dari salah satu korban menyalahkan pemuda Meitei yang tidak disebutkan namanya. Tetapi dia tidak menyebut Meira Paibis.
"Laporan tentang perempuan yang mendesak laki-laki mereka untuk memperkosa perempuan Kuki seharusnya membuat kita takut," tulis sejarawan dan penulis, Mukul Kesavan di kolom surat kabar.
"Sebuah negara di mana perempuan bersekongkol dengan pemerkosaan dan pembunuhan publik terhadap perempuan lain sedang menuju mimpi buruk yang lebih buruk daripada sekadar anarki," kata Kesavan.
Pejabat keamanan menuduh perempuan di kedua belah pihak terlibat dalam kekerasan. Tetapi, sebagian besar perempuan Meiteis, menghalangi pasukan militer melakukan operasi dan mengatur titik masuk ke desa mereka. Tentara India tidak memiliki kewenangan untuk menindak wanita.
"Ada alasan kami memblokir tentara/karena mereka secara langsung mendukung Kukis," kata Thoibi Devi, perempuan dari Meira Paibis, yang berdiri bersama perempuan lain di sebuah pos pemeriksaan di mana mereka menghentikan semua kendaraan, termasuk kendaraan militer.
Vak Vaiphei, seorang pemimpin Kuki di Desa Kangvai mengatakan, ketika personel militer mencoba mengambil alih bungker mereka, para wanita mengepung dan mendorong mereka keluar. Di dekatnya, seorang wanita Kuki, mengenakan T-shirt hitam, celana panjang kamuflase dan memegang senjata laras ganda. Seorang perempuan Kuki, Lamnu Haokip mengatakan, dia merasa lebih aman mengangkat senjata melawan Meitei.
"Saya takut kalau duduk di rumah. Tapi, sekarang saya di sini, jadi saya bisa menembak mereka," ujar Haokip yang berusia 23 tahun.