Pada 1920-an, Indonesia adalah Nama Perusahaan Asuransi, Sukarno Mengagumi Nama Itu
Perusahaan Asuransi di Jalan Braga itu dikagumi mahasiswa di Bandung yang bernama Sukarno. Bukan perusahaannya yang dikagumi, melainkan nama Indonesia yang dipajang di papan nama perusahaan itu yang bisa dilihat oleh Belanda di era 1920-an.
Pada 1929 De Sumatra Post menulis berita berjudul “Kebangkrutan ‘Indonesia’” (Het Faillissement van „Indonesia”). Tentu saja ini bukan ramalan mengenai negara Indonesia yang akan merdeka lalu bangkrut. Bukan itu adalah berita mengenai perusahaan asuransi. Namanya NV Algemeene Levensverzekering Maatschappij Indonesia (Perusahaan Asuransi Jiwa Umum Indonesia). Perusahaan ini dipimpin oleh GSSJ Ratulangi di Bragaweg, Bandung.
Pada April 1925, Asuransi Indonesia menolak pembayaran klaim nasabah senilai 18 ribu gulden. Utangnya mencapai 115 ribu gulden. Pimpinan “Indonesia” pun menerbitkan surat edaran mengenai likuidasi. “Insiden ‘Indonesia’ sudah menjadi langkah mundur yang besar secara moral bagi gerakan pribumi, kami menganggap likuidasi sukarela jauh lebih disukai daripada dipailitkan,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad Desember 1925
Asuransi Indonesia didirikan pada Oktober 1921 untuk kalangan pribumi. Direkturnya PJ Maitland dan Ratulangi. Wakil DIrektur Darma Koesoema. Sedangkan Djajadiningrat, Abdul Rivai, Soetan Temenggoeng, Wreksodiningrat, Mangoenkoesoemo, Sastrodipoera, dan Geringen menjadi komisaris. Persetujuan akta pendiriannya keluar pada April 1922 untuk nama NV Algemeene Levensverzekering Maatschappij Indonesia disingkat ALMI. Setelah Maitland dan Ratulangi mengundurkan diri, posisi mereka digantikan oleh Dr Rivai dan AJ Quant.
Beberapa orang memiliki saham di perusahaan ini. Yaitu Soejono, Djajadiningrat, dr Kajadoe, Wiranatakoesoema, dr Abdoel Rivai, dr GSSJ Ratulangi, dr Tumbelaka, Soeriakartalegawa, Raja Kubu, Sarwoko, Aay, dan Mandagie. “Dr Ratulangi awalnya memiliki tiga puluh saham, tapi entah kenapa berhasil membuat dirinya terdaftar untuk dua saham, sehingga dia sekarang harus membayar lebih sedikit,” tulis De Sumatra Post.
Pada 1929 itu, pengadilan menyuruh para pemilik saham mengumpulkan 170 ribu gulden untuk membayar utang. Ada 3.200 orang yang menjadi peserta asuransi, tapi banyak yang tidak membayar, sehingga batal demi hukum, dan tinggal 300 orang.
Saat Sukarno menjadi mahasiswa di Bandung, ia terkagum-kagum ketika melewati Jalan Braga mendapati papan perusahaan asuransi bernama Indonesia itu. Ia berusaha menemui pemimpinnya yang ternyata Ratulangi. LN Palar, sahabat Sukarno yang juga bekerja di Asuransi Indonesia, menuturkan ceritanya di buku LN Palar Diplomat Legendaris Indonesia, From Tomohon to New York:
Langsung saya jawab, perusahaan asuransi itu masih milik Dr Ratulangi dan saya tinggal di situ. Untuk kedua kalinya Sukarno sangat tertarik dengan kata ‘Indonesia’ yang ditulis Dr Ratulangi di papan usaha dagangnya. Lagi pula, di masa penjajahan Belanda, Sukarno menemukan kata ‘Indonesia’ dengan sengaja dipajang di muka umum. Saya mengajak Sukarno masuk ke dalam rumah menemui Dr Ratulangi yang kebetulan saat itu berada di rumah. Pertemuan kedua kali itu, keduanya langsung terlibat diskusi soal kata ‘Indonesia’.
Dari Ratulangi, Sukarno mendapat penjelasan bahwa Indonesia bukan sekadar nama, melainkan juga merupakan ide persatuan bangsa. Kini, “NKRI Harga Mati” menjadi slogan untuk menjaga keutuhan Indonesia. Niat kuat agar Indonesia tidak bubar, seperti nasib Sriwijaya dan Majapahit.
Priyantono Oemar