'Perempuan Masih Dihadapkan Sejumlah Tantangan dalam Politik'
Perempuan masih dihadapkan dengan parpol yang mau mengusung mereka sebagai caleg.
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Erlina Hidayati menyoroti soal sejumlah tantangan perempuan dalam partisipasi politik. Menurutnya perempuan masih dihadapkan sejumlah tantangan. Salah satunya budaya paternalistik yang masih tinggi.
"Membolehkan atau tidak, mengizinkan atau tidak itu sangat besar di kalangan laki-laki, suami dari perempuan yang akan mencalonkan diri tadi," kata Erlina dalam diskusi bertema 'Perempuan dan Politik: Jejak, Peran, dan Strategi' di Auditorium Fisipol UGM, Kamis (10/8/2023).
Selain itu, di dalam proses pencalonan sebagai calon anggota legislatif, tentu ada banyak hal yang harus dilakukan perempuan agar bisa menang. Namun kerap dijumpai masih adanya permasalahan dengan para suaminya.
"Di dalam proses-proses itu ada banyak hal yang kemudian menambah tensi konflik dengan pasangan," ucapnya.
Tidak hanya itu, Erlina juga menemukan masih adanya perempuan yang mengalami kekerasan verbal, psikis, maupun fisik. "Sehingga ini lumayan sama permasalahan-permasalahan ini dihadapi perempuan kita. meskipun Indonesia sudah cukup bagus tadi indeks pembangunan gendernya, DIY apalagi dibandingkan provinsi lain," ungkapnya.
Sementara itu hal serupa juga disampaikan Dosen Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati. Mada mengungkapkan perempuan masih dihadapkan dengan partai politik yang mau mengusung mereka sebagai calon legislatif.
"Mengapa secara kuantitas masih sangat sedikit? Ada banyak hal. Kalau kita bicara aktor ini kaitannya dengan partai politik karena partai politik yang mencalonkan," kata Mada.
Adanya kemauan dari partai politik untuk terus menaruh perhatian pada isu perempuan perlu terus didorong. Menurutnya suara perempuan bisa menjadi media untuk mendorong concern partai politik pada isu-isu keterwakilan perempuan.
"Apalagi sekarang kan dalam tahapan menuju DCS, mungkin sudah agak terlambat kalau mau mendorong ini. tapi saya kira masih ada lah peluang," ucapnya.
Selain itu faktor lain rendahnya partisipasi perempuan dalam politik yakni lantaran pemilih perempuan tidak selalu memilih perempuan. Apalagi caleg perempuan dinilai kurang mengembangkan politik programatik, sehingga strategi yang dilakukan tidak banyak berbeda dengan laki-laki yang mengandalkan dinasti politik, politik uang dan seterusnya.
"Karena politik perempuan mungkin bisa digunakan untuk menyasar para pemilih perempuan, selain tentu saja upaya untuk meningkatkan keterampilan politik perempuan, saya kira kanal ini bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan keterampilan perempuan," kata Mada.
Mada juga menyoroti soal kualitas. Ia menilai para anggota legislatif yang terpilih belum banyak yang mengembangkan politik representasi yang lebih substansi.
"Artinya mengadvokasi kebijakan publik yang lebih mengadvokasi kebijakan-kebijakan publik yang sensitif gender, misalnya kaitannya dengan isu sampah, itu bagaimana aleg yang perempuan mengaplikasi isu tersebut," ucapnya.